Sunday, November 22, 2009

PANTASKAH SAYA MEMBAYAR ZAKAT?

Oleh:  Lisa MN Puspita SE, MSi,Ak

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tak mendapat bagian (tidak meminta)”. (QS. Adz-Dzaariyaat:19)

Sejak pendidikan dasar, umat muslim sudah diajarkan mengenai 5 perkara dalam Rukun Islam, dimulai dari Syahadat, shalat, zakat, puasa dan terakhir ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya.  Pelaksanaan kelima rukun Islam adalah ibadah mutlak. Namun sampai saat ini, dari kelima rukun tersebut, hanya zakat yang pelaksanaannya tidak begitu optimal dan populer.  Oleh sebagian besar masyarakat, ibadah zakat dipahami hanya sebatas zakat fitrah yang dibayar setiap bulan Ramadhan saja.  Padahal selain zakat fitrah, terdapat pula zakat mal (harta) yang pembayarannya dilakukan apabila harta yang dimiliki telah mencapai nisab dalam 1 haul (periode perhitungan zakat). 
Usaha menumbuhkan kesadaran umat Islam memang tidaklah mudah. Pendidikan dasar yang diberikan kepada anak-anak baik formal maupun informal masih kurang menyentuh materi zakat apalagi jika dibandingkan dengan materi shalat ataupun puasa.  Selain itu, majelis taklim yang tiap pekan dilaksanakan juga dirasakan kurang optimal dalam mensosialisasikan pemahaman mengenai zakat ini.  Untuk itu, berbagai usaha dilakukan. Di samping sosialisasi, usaha penyadaran masyarakat untuk membayar zakat juga dilakukan dalam bentuk membuat sebuah kebijakan dalam pemerintahan.
Jika ibadah puasa meminta umat muslim untuk menahan konsumsi dengan menahan pengeluaran (belanja makanan), maka zakat meminta orang menahan konsumsi dengan pengeluaran budget tertentu (2,5%) (Mufraini,2008). Selain itu, imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’Ulumuddin, memaparkan bahwa kewajiban zakat adalah alat uji derajat keimanan seorang hamba yang mencintai Allah, melalui upaya meminimalisir konsumsinya atas dasar kecintaan kepada Allah SWT.
Sungguh, dalam harta seorang mukmin, terdapat pula hak orang lain atas harta tersebut. Zakat mal didefinisikan sebagai ”Pemindahan hak milik atas bagian tertentu dari harta tertentu kepada orang yang berhak menerimanya dari golongan tertentu pula dengan maksud untuk mendapatkan ridha Allah SWT dan menyucikan jiwa, harta, dan masyarakat” (Mufraini, 2008). Istilah pemindahan pemilik tidak boleh disamakan dengan istilah pemberian dari si empunya kepada orang yang berhak menerimanya.  Artinya, terdapat kewajiban bagi pihak wajib zakat untuk memindahkan kepemilikannya kepada yang berhak menerima.  Seperti yang dirumuskan Mufraini (2008), berikut ini adalah kondisi-kondisi yang mewajibkan dilaksanakannya zakat mal:
Pertama, Kepemilikan Sempurna.  Secara hukum, aset kekayaan harus halal dan berada di bawah kekuasaan seseorang secara total tanpa ada hak orang lain di dalamnya. Pemilik kekayaan dapat membelanjakan dan memanfaatkannya sesuai keinginannya, dan hasil pemanfaat kekayaan tersebut akan menjadi miliknya.  Dengan demikian, tidaklah logis bila seseorang memindahkan kepemilikan harta yang tidak dimilikinya kepada orang lain.
Kedua, Aset Produktif atau Berpotensi untuk Produktif (mengalami perkembangan nilai Aset). Maksudnya adalah bahwa proses pemutaran (produktivitas) aset tersebut dapat mendatangkan hasil atau pendapatan tertentu, sehingga tidak terjadi pengurangan nilai atas kapital aset.  Dalam hal produktivitas aset, tidaklah penting apakah perkembangan nilai aset tersebut benar-benar terwujud atau tidak, tetapi yang disyaratkan adalah bahwa aset tersebut mempunyai potensi untuk berkembang.  Oleh karena itu, tidak diwajibkan zakat atas tempat tinggal, kuda tunggangan, baju yang dipakai, buku, peralatan dan sebagainya, karena semua itu termasuk dalam kategori kebutuhan primer yang tidak dapat berkembang (konsumtif).
Ketiga, Harus Mencapai Nisab.  Nisab adalah syarat jumlah minimal aset yang dapat dikategorikan sebagai aset wajib zakat.  Hanya aset surplus saja yang menjadi objek zakat.  Sebagian besar ulama mengatakan bahwa nisab adalah sejumlah makanan, emas, dan lain sebagainya yang dapat mencukupi kebutuhan dan belanja keluarga kelas menengah selama satu tahun.
Keempat, Aset Surplus Nonkebutuhan Primer. Maksudnya adalah aset kepemilikan yang melebihi pemenuhan kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan).  Perbedaan ukuran akan keprimeran sesuatu pada saat ini membuat penentuan kebutuhan primer menjadi sulit. DR. Yusuf Qardhawi mensinyalir bahwa kebutuhan primer manusia akan selalu berubah dan berkembang seriring perubahan zaman, lingkungan dan kondisi, karena itu pemerintah bertanggung jawab untuk menetapkan standarnya.
Standarisasi menjadi bahasan yang cukup penting ketika calon muzaki merumuskan apa saja kebutuhan primernya, misalnya jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan muzaki, apakah aset properti tersebut merupakan barang mewah atau tidak, atau jumlah aset properti itu sendiri.  Sebagai contoh: ketika calon muzaki memiliki 3 mobil, maka pertanyaannya berapa mobil yang bisa dikatakan sebagai kebutuhan primer.
Kelima, Tidak Ada Tanggungan Utang.  Aset wajib zakat adalah aset yang sudah dikurangi utang.  Hal ini berdasarkan pada asas yang menyatakan bahwa hak orang yang meminjamkan utang harus didahulukan daripada hak golongan yang berhak menerima zakat. ”Barangsiapa yang mempunyai utang hendaklah ia membayar utangnya dan berzakat dengan sisa hartanya” (HR.Imam Malik)
Keenam, Kepemilikan Satu Tahun Penuh (haul). Untuk aset wajib zakat seperti binatang ternak, aset keuangan, dan barang dagangan (komoditas) harus dimiliki selama satu tahun penuh  menurut perhitungan kalender hijriyah. Dengan demikian, aset yang mudah rusak/busuk tidak dapat menjadi aset wajib zakat.  Lain halnya pada aset hasil pertanian/perkebunan, barang tambang, dan harta karun, maka tidak diwajibkan kepemilikan selama setahun. Dengan kata lain, bila kurang dari setahun dan mencapai nisab, maka wajib dikeluarkan zakat atasnya.
Peningkatan jumlah menyedia jasa mengakibatkan semakin besarnya potensi pembayar zakat profesi saat ini.  Pendapatan profesi merupakan buah dari hasil kerja menguras otak dan keringat yang dilakukan setiap orang, baik yang bekerja di pemerintahan maupun swasta. Terdapat 2 jenis penyedia jasa, aktif (biasanya menerima pendapatannya rutin secara periodik) dan pasif (pendapatan dari hasil kerja profesional yang penerimaannya tidak ada ketentuan pasti setiap periode tertentu). Perhitungan aset wajib zakat penyedia jasa aktif dilakukan dengan menghitung seluruh pemasukan yang diperoleh dikurangi dengan kebutuhan pokok dan utang, Zakat wajib dikeluarkan apabila sisanya telah melampaui batas nisab (setara dengan nisab aset wajib zakat keuangan, yaitu 85 gram emas). Untuk penyedia jasa pasif, zakat dihitung dengan mengurangi seluruh penerimaan yang ada dengan biaya operasional, utang, dan kebutuhan primer, dan sisanya dikenakan zakat bila melampaui nisab.  Nisab yang ditentukan bagi zakat profesi adalah setara dengan zakat hasil pertanian dan perkebunan yakni 750 kg beras.
    Bagi penyedia jasa yang belum memenuhi karakter tersebut, tidak ada salahnya jika melatih diri terlebih dulu untuk lebih peduli kepada saudaranya yang dinilai kurang beruntung daripada dirinya.  Meski belum mencapai nisab, tidak sedikit umat muslim yang menyisihkan sebagian hartanya demi mendapat ridho Allah SWT. Sebagaimana janji Allah:
”Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji.  Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang ia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.  Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati” (QS. Al Baqoroh: 261-262)

Lisa Martiah Nila Puspita, SE.Msi, Ak.
Staf Pengajar Jurusan Akuntansi FE
Universitas Bengkulu

No comments:

Post a Comment