Wednesday, February 10, 2010

MEMPERKENALKAN EKONOMI SYARIAH LEBIH DINI

MEMPERKENALKAN EKONOMI SYARIAH LEBIH DINI
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita*


“Dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, akan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya”. Sepotong kalimat di atas yang lebih popular dikenal dengan prinsip ekonomi ini sangat melekat hampir pada setiap diri setiap orang. Mulai dari kalangan pejabat hingga penjahat, pengusaha sampai pengangguran, yang terpelajar atau tidak pernah menenyam pendidikan sekalipun. Entah dari mana sumber biasnya, yang jelas kalimat tersebut sudah terlanjur melekat pada masyarakat, meski kemudian pada sebagian orang  terutama yang melanjutkan pendidikan tinggi di bidang ekonomi memperoleh revisinya menjadi “dengan pengorbanan tertentu, akan menghasilkan keuntungan seoptimal mungkin” atau “dengan pengorbanan sekecil-sekecilnya, akan menghasilkan keuntungan tertentu yang optimal.”
Kalimat hipotesis yang tak kalah popular lainnya adalah “semakin besar penghasilan yang diperoleh, semakin besar pula pengeluaran yang terjadi”. Kalimat yang mengandung perbandingan secara linier ini kemudian ditelan mentah-mentah oleh kebanyakan orang, tanpa menghiraukan faktor penyebab dan akibat yang ditimbulkannya jika tidak dibarengi dengan batasan-batasan (baca: norma/nilai agama). 
Dua kalimat yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi baik secara individu maupun masyarakat ini seolah mendarah daging dan menjadi pola pikir masyarakat umum khususnya muslim saat ini.  Bila tidak diluruskan, pemahaman seperti ini akan menimbulkan dampak negatif baik dalam pola  konsumsi maupun pola produksi seseorang.  Tanpa menghiraukan norma-norma yang ada di masyarakat ataupun batasan syariah, seorang muslim akan terdorong untuk memenuhi kebutuhannya semaksimal mungkin dengan pengorbanan sekecil mungkin atau tanpa pengorbanan sedikitpun. Atau sebaliknya, ketika penghasilan seseorang  meningkat, pola konsumsi untuk memaksimalkan kepuasan syahwatnya pun mengalami peningkatan selama kemampuan finansialnya memungkinkan bahkan cenderung ke arah berlebih-lebihan (pemborosan).
Pola konsumtif masyarakat ini tercermin pada meningkatnya pertumbuhan pasar-pasar modern yang semakin menggeser kedudukan pasar tradisional. Orang-orang cenderung lebih memilih kepada sebuah gengsi daripada kepada manfaat yang dibutuhkannya. Contoh misalnya seseorang mau membeli mie instant. Ia lebih suka beli di mall daripada di pedagang pinggiran (warung). Dari sisi produksi, masyarakat mencoba mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan peluang yang ada dan dengan sedikit berkorban (baca: kerja), dengan harapan dapat meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari apa yang diinginkannya. Korupsi merajalela dan menjadi budaya, etika dalam berbisnis diabaikan, saling memanipulasi, saling menjatuhkan,  dan masih banyak lagi kasus-kasus yang terjadi.  Ironisnya, fenomena yang bermuara pada ketimpangan ekonomi ini terjadi pada sebagian besar masyarakat kita yang notabene adalah beragama Islam.
Memang banyak faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi pola konsumsi dan produksi, mulai dari kebudayaan, sosial, peran dan status sosial, personal dan psikologis (Kotler, 2000). Hanya saja kesemua kegiatan yang pada dasarnya adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, sebenarnya bermula dari dorongan hawa nafsu yang berbentuk kesadaran atas nilai uang, yang sebenarnya di dalam Islam ada batasan-batasan yang tetap harus dijaga dan ditaati.
Fenomena tersebut kemudian dikemas dalam teori-teori ekonomi konvensional yang kita kenal selama ini.  Dimulai dari pendidikan dasar hingga menengah, teori tersebut dikemas dan diperkenalkan dalam paket kurikulum pendidikan ekonomi, tanpa sentuhan nilai-nilai Islam sedikitpun. Dan kesemua itu tertanam secara mendalam dan membentuk  pola perilaku konsumsi dan produksi.  Padahal Islam sendiri mengatur segala segi kehidupan seorang muslim termasuk di dalamnya mengenai kehidupan perekonomian yang meliputi perilaku konsumsi, yang sangat terkait dengan zakat, dan perilaku produksi (etika bisnis, etos kerja), di antaranya:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2:168). “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS.62:10).
“yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan.” (Hadits)
Selain itu, batasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah aspek kemashlahatan, yakni mengutamakan kebaikan dan menjauhi kerusakan.
Sayangnya, batasan-batasan yang ditentukan oleh Al Qur’an dan Hadits tersebut kurang diperkenalkan kepada masyarakat baik secara informal apalagi formal.  Sebuah riset yang dilakukan di 100 Taman Pendidikan Alqur’an (TPA) di Jakarta menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% TPA yang memperkenalkan zakat kepada santrinya, selebihnya hanya memberikan materi tentang cara membaca Al Qur’an, shalat dan puasa. Perkenalan secara formal pun belum terealisasi dengan baik.  Pembahasan mengenai teori-teori ekonomi dalam kurikulum pendidikan selama ini belum menyentuh aspek Islami yang seharusnya diberikan pada anak didik muslim. Kurikulum yang diterapkan selama ini secara sekuler membahas teori ekonomi dan dalil-dalil agama dalam dua mata pelajaran yang berbeda. Bahkan lebih jauh lagi, Pendidikan moral dan agama belum menyentuh aspek perilaku ekonomi seorang muslim. 
Selama ini, kurikulum yang ada menciptakan sosok muslim yang konsumtif dan produktif, yang jauh dari nilai-nilai Islami. Jika kondisi tersebut diubah dengan memasukkan pendekatan Syariah ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, peluang untuk menciptakan sosok muslim yang memiliki pola konsumsi dan produksi yang Islami  di masa yang akan datang semakin terbuka lebar. 
Sebagaimana yang dilakukan pihak kepolisian, dalam rangka memperkecil tingkat pelanggaran rambu-rambu lalulintas, yang berakibat terjadinya lakalantas, berbagai upaya dilakukan termasuk memperkenalkan  rambu-rambu lalulintas kepada anak-anak sejak dini.  Hal ini dirasakan lebih efektif ketimbang dilakukan pada orang-orang dewasa, meskipun dampaknya belum dapat dirasakan saat ini.
Pengenalan terhadap ekonomi syariah lebih dini merupakan salah satu bentuk upaya untuk memperbaiki ketimpangan perekonomian yang dirasakan saat ini. Tidak hanya produk perbankan syariah yang dimasukkan dalam kurikulum mata pelajaran ekonomi seperti yang ada selama ini, tetapi esensi ekonomi syariah yang menjadi rambu-rambu pola konsumsi, produksi bahkan distribusi seorang atau masyarakat muslim pun dapat dikemas dalam kurikulum tersendiri.
. Jika pendidik muslim memiliki semangat tinggi untuk memperkenalkan ekonomi syariah banyak cara yang dapat ditempuh. Sebagai langkah awal, materi ekonomi Syariah bisa saja dikemas secara berdampingan dengan materi dalam kurikulum yang sudah ada selama ini. Lebih lanjut, upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan memasukkannya ke dalam kurikulum muatan lokal, sebelum nantinya diharapkan bisa menjadi kurikulum nasional.
Dengan demikian, diharapkan paradigma syariah akan tertanam dalam pola pikir masyarakat muslim sejak ia mempersiapkan diri di bangku sekolah. Nantinya, diharapkan masa mendatang masyarakat muslim dapat lebih bisa menjaga norma-norma Islami dalam perilaku konsumsi dan produksinya dalam rangka memperkuat basis ekonomi. Wallahu ‘alam bissawab.

* DOSEN JURUSAN AKUNTANSI FE UNIB
TINGGAL DI JL UNIB PERMAI II C NO 100
PEMATANG GUBERNUR BENGKULU,
TLP. 0736-7310611