Wednesday, December 1, 2010

MUKENA

Pakaian yang satu ini merupakan kebutuhan primer bagi seorang muslimah. Saya yakin setiap muslimah pasti memilikinya satu atau bahkan lebih.
Saya sendiri memiliki mukena sejak duduk di sekolah dasar. Mukena yang saya miliki terbuat dari bahan blacu, jahitan ibu saya sendiri. Dulu, susah mendapatkan mukena ukuran anak-anak yang dijual di pasaran. Saya tidak ingat berapa minggu sekali saya mencucinya,( atau mungkin juga sekali dalam setahun?). yang jelas penggunaannya hanya jika orang tua saya mengingatkan waktu sholat dan mengajak sholat berjamaah.
Memasuki usia SMP, saya mendapat mukena baru yang masih terlalu besar untuk dipakai. Kali ini, mukena tersebut cukup bertahan lama, hingga SMA pun masih saya gunakan. Bukan karena bahannya yang awet, tetapi memang karena jarang digunakan… astaghfirullah…meski penggunaannya lebih dari dua kali setahun.
Alhamdulillah, kondisi tersebut tidak berlangsung selamanya. Ketika hasil UMPTN diumumkan, orang tua saya serta merta membelikan mukena baru sekaligus travel bag untuk keberangkatan saya ke rantau seberang. Jauh dari orang tua menyadarkan saya akan ketiadaan tempat bergantung kecuali Allah SWT. Sholat lima waktupun tak pernah ketinggalan lagi, plus sholat sunnah lainnya.
Lima tahun (menyelesaikan S1) ditambah dua tahun (S2) jauh dari orang tua, tidak membuat jumlah mukena saya bertambah, hanya sekali berganti yang baru. Saat itu, saya pikir dengan satu mukena sudah cukup, toh kalau kotor bias dicuci, dijemur, dan dikeringkan.
Perubahan jumlah mukena yang saya miliki baru terjadi pada saat seorang laki-laki datang kepada orang tua saya dan meminta saya untuk dijadikan istri. Sejak saat itu, saya memiliki dua mukena yang saya pakai bergantian.
Status ibu rumah tanggapun yang berada di tengah masyarakat membuat saya merasa perlu menambah satu lagi mukena baru yang menurut saya harus bernilai lebih tinggi. Maksudnya, mukena tersebut hanya dipakai pada saat-saat khusus, hari raya misalnya, atau ketika ada tamu yang numpang sholat di rumah. Jumlahnya jadi tiga.
Satu per satu lahirlah buah hati amanah Allah, kebutuhan khadimatpun tak terelakkan. Kebetulan mereka yang pernah ikut dengan saya adalah orang-orang yang kesadaran atas kebutuhan sholat masih rendah. Keinginan mendakwahi merekapun muncul dengan mengajak, mengingatkan mereka untuk sholat di setiap waktunya, sekaligus meminjamkan mukena yang saya miliki.
Hari berganti hari, khadimat pun datang dan pergi silih berganti. Jumlah mukena pun berubah-ubah, karena di antara mereka ada yang sengaja memintanya, ada yang mengaku tertinggal di rumah saat mereka pulang mudik. It’s okay. Saya sering membeli mukena baru dengan harga berkisar 50 rb-150rb. Sampai pada saat mukena saya hanya berjumlah dua…. Datanglah khadimat baru tanpa membawa mukena. Seperti biasa, saya pun menaruh satu mukena saya di kamarnya. Kudu beli lagi nih…apalagi bulan depan sudah Ramadhan.
Di saat rencana pembelian akan menjadi pelaksanaan, seorang teman menawarkan berbagai mukena. Indah, menarik, cantik, dengan bordiran rapi di sana sini. Di saat pilah pilih, saya tanya harganya berapa. Tenggorokan saya nyaris tercekat menelan ludah, jutaan rupiah. Masya Allah, bukannya tidak sanggup bayar, hanya saja kalau saya bandingkan dengan mukena saya terdahulu, paling mahal seharga Rp 150 rb, (itu saja sudah tak tahu berada dimana), rasanya terlalu berat untuk mengenakannya. Saya jadi berpikir, bagaimana jika di saat saya memakainya, nilai kekhusyukan saya tidak sebanding jutaan rupiah itu……. Biarlah, untuk sementara saya meninggalkan bordiran indah itu. sampai saat nilai kekhusyukan saya benar-benar siap menandingi nilai rupiah itu …
Wallahu’alam