Bengkulu, 9 Juli 2011
Kalau sudah memasuki bulan Sya’ban, hatiku berharap-harap cemas. Di satu sisi, aku gembira dan berharap dapat bertemu bulan suci yang Agung, bulan Ramadhan. Bulan yang membuka peluang buatku untuk mendapatkan ampunan atas semua dosa dan kesalahanku, bulan saat aku bisa meraih berkali-kali lipat pahala dengan amal yang hanya sebatas kemampuanku aku lakukan. Tapi di sisi lain aku merasa cemas. Mungkin bagi orang lain kecemasanku tidaklah beralasan. Tapi bagiku, kecemasan ini adalah dampak kejadian beberapa tahun lalu.
Tahun 2007, beberapa hari sebelum datang bulan Ramadhan (sama seperti saat ini), suami diminta pulang oleh keluarganya ke kampung halamannya. Kepulangan suami dikarenakan kedua orangtuanya (mertuaku) sakit keras. Mengingat kondisi ketiga anakku yang masih kecil dan perjalanan ke kampung halaman suami agak berat, maka suami memutuskan untuk tidak mengajak kami pulang, alias dia sendiri yang pulang. Terus terang, kepergian suami meninggalkan aku dengan ketiga anakku yang masih kecil kurasakan agak berat. Alhamdulillah, ada tetangga yang mau menemaniku dan membantuku mengurusi anak-anak.
Selang beberapa hari kemudian, ternyata takdir menyatakan kedua mertuaku berpulang ke rahmatullah dalam satu hari yang bersamaan, tepatnya hari Minggu, hanya selisih beberapa jam saja. Ini dirasakan sebagai ujian berat bagi suami dan keluarganya. Karena sudah seminggu meninggalkan kami di Bengkulu, dan hari Kamisnya sudah memasuki puasa Ramadhan, suami memutuskan untuk pulang pada hari Rabu, 1 hari sebelum Ramadhan (karena tiket pesawat yang tersisa hanya ada pada hari itu).
Awalnya suami dapat tiket penerbangan sore (kalo diperkirakan, sampai di rumah jam 5), alhamdulillah, ternyata suami dapat menukarkan tiketnya dengan penerbangan pagi, sehingga bisa sampai di rumah sekitar jam1 siang. Meski masih berduka, kusambut suami dengan keceriaan. Dalam hatiku, alhamdulillah, sahur pertamaku di tahun ini bisa bareng suami.
Tetangga terus berdatangan mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya kedua mertuaku. Hingga sore itu, tamu terakhir pulang sekitar jam 17.30. Menjelang maghrib itu, kangennya anak-anak pada ayahnya sore itu dilepaskan dengan acara keliling-keliling komplek dengan sepeda motor. Hal ini memang rutin dilakukan suami dan anak-anak hampir setiap sore.
Menyadari saat itu menjelang memasuki Ramadhan, sebelum mereka keliling-keliling dengan motor, aku segera mengajak suami dan anak-anakku untuk saling maaf-memaafkan. Terakhir saat aku menyalami suami, tiba-tiba suara gemuruh menggetarkan rumah dan seluruh isinya. Sontak suami menggendong anakku terkecil dan menarik tangan anak keduaku berlari menuju keluar rumah dan diikuti oleh si sulung. Aku yang berdiri bengong berusaha mencari kerudung penutup kepalaku. Rumah terus bergoyang, hentakan bumi masih bergemuruh. Suami berteriak-teriak memanggilku menyuruhku keluar. Yang kulihat adalah jilbab kecil anakku, kuraih, kupakai dan lari menyusul mereka. Kami berpeluk. Tanah masih bergoyang. “Allahu Akbar.....Allahu Akbar” tak putus-putusnya suamiku bertakbir...
Aku terduduk di tanah, menangisku ucapkan, “diamlah bumi, diamlah tanah....” sebagaimana yang pernah dilakukan shahabat Umar ra...”Allahumma baalighna ramadhoona ... allahummabaalighna romadhoona,,,,” aku sudah membayangkan kalau kami tak kan sempat menjumpai Ramadhan, walau hanya dalam hitungan detik lagi....
Allahu Akbar, Alhamdulillah....beberapa menit kemudian bumi pun diam, seiring tenggelamnya matahari di ufuk barat... aku dan keluargaku sampai juga di bulan suci Ramadhan... sujud syukur kami panjatkan atas kesempatan yang Allah berikan pada kami untuk menghirup udara Ramadhan...
Sejak saat itu, perasaan harap-harap cemas selalu ada di hatiku bila memasuki bulan Rajab dan Sya’ban.
Tahun ini, begitu banyak penyimpangan-penyimpangan hukum Allah terjadi. Menjelang Ramadhan tahun ini terjadi kelangkaan BBM. Antrian panjang di SPBU terjadi di banyak kota. Harga-harga sembako menjadi naik, kriminalitas masih merajalela, kerusakan moral terus terjadi.... ampun ya Allah.... jangan Kau azab kami seperti umat-umat terdahulu yang mendustaiMU. Seperti kisah dalam AlQur’an, begitu banyak umat yang Engkau timpakan gempa kepada mereka karena mereka berpaling dariMu. Astaghfirullahul adziim... sungguh ya Allah, aku ingin berjumpa dengan Ramadhan lagi tahun ini....
No comments:
Post a Comment