Thursday, December 22, 2011

TIPS MENGATASI PERTENGKARAN ANTAR ANAK

Liburan telah tiba. Para orang tua siap-siap menjalankan program liburan anak-anaknya. Dari yang membutuhkan dana sampai yang gratisan. Orang tua yang kreatif dan dinamis, plus dengan anak yang banyak, liburan bisa menjadi ajang hal-hal tertentu yang mungkin selama ini agak terabaikan. Minimal porsi perhatian kepada anak menjadi bertambah. Tidak selamanya bentuk perhatian itu mengena kepada masing-masing anak. Bisa jadi sebagian perhatian itu didelegasikan kepada anak yang lebih besar, yang tentunya perlu juga mutaba’ah/evaluasi dari orang tua.
Mengkomunikasikan wewenang dan tanggung jawab kepada 4 anak adalah hal rutin yang kami lakukan. Secara teori, tentu saja si sulung memperoleh tanggung jawab yang lebih besar dari adik-adiknya, begitu pula anak nomor 2 dan 3. Sedapat mungkin kami berusaha mengkomunikasikan dengan bahasa mereka wewenang dan tanggung jawab masing-masing sesuai kemampuan mereka.
Namun dengan seiring berjalannya waktu, ternyata kesadaran akan 2 hal tersebut timbul tenggelam. Konflik antar anak mulai bermunculan. Meski kata sabar berulang kali diperingatkan, yang namanya anak tetap saja tidak mau mengalah, terutama saat bermain bersama. Semua mau duluan memegang mainan yang cuma satu. Bahkan kalau semua dibelikan mainan yang sama, tetap saja mau meminjam punya yang lain, termasuk si sulung yang tertaut 10 tahun dengan si bungsu.
Bayangkan kalau lagi liburan sekolah dimana orang tuanya sendiri tidak sedang libur, rumah menjadi selalu ramai dengan berbagai ekspresi. Tiap hari selalu saja ada yang saling mengejek, memaki, memarahi, berteriak, marah, cemberut, bahkan sampai berkelahi yang mengundang emosi orang tua. Jika sudah demikian, maka orang tua harus mencari solusi terbaik mendamaikan di antara mereka.
Ending dari semua itu selalu saja ada yang mengadu, menangis, dan meninggalkan jejak mainan di sana-sini, tanpa ada yang mau membereskan (lagi-lagi orang tuanya yang membereskan).
Awalnya sih cukup jadi penonton. Tapi lama-kelamaan terasa risih juga. Apalagi kalau lagi mengerjakan sesuatu di rumah yang butuh konsentrasi, pekerjaan tidak selesai jika diganggu dengan pengaduan terus-menerus. Kalau ikutan marah, jadi malah tambah ramai.
Kucari akal, kuambil 4 helai kertas putih. Kugambar pas foto setiap anak di masing-masing kertas, ku tempel di dinding dekat tempat biasa mereka bermain dan kudekatkan spidol hitam di bawahnya. Kutulis nama masing-masing anakku.
Pertengkaran berhenti seketika, dan diganti dengan rasa ingin tahu akan apa yang aku perbuat. “Untuk apa bun?” Alif si sulung bertanya heran.
“ini gambar abang alif, ini mbak nina, ini abang faqih dan ini adik amel. Gambar ini boleh dicoret setiap kali yang digambar membuat ulah bikin sebel yang lain. Misal, mbak nina lagi jengkel sama abang alif, maka mbak nina boleh mencoret satu kali pada gambar abang alif.
Setiap sabtu sore, akan dilihat siapa yang paling banyak coretannya. Yang paling banyak coretannya, dia akan dapat hukuman.”
“Hukumannya apa bun?”
“Hmm, enaknya apa ya??”
Mbak nina mengusulkan,”yang paling banyak coretan, dia tidak berhak mendapatkan makanan atau mainan yang dibelikan ayah hari itu..”
Biasanya di akhir pekan, mereka ditraktir jajan sesuai keinginan mereka oleh ayahnya.
“Gimana, yang lain setuju???”
“Setuju...”
Tiba-tiba alif si sulung mengusulkan,” ayah bunda juga digambar dong... biar adil.. kan kadang bikin sebel juga...”
“Iya...iya... biar adil... “ lho? yang lain malah mendukung..
“Oke, kalau begitu... nih, bunda buatkan gambar ayah bunda..”
Beres... untuk beberapa menit mereka terlihat kompak, sambil ketawa-tawa memandangi wajah mereka yang kugambar di kertas itu...
Aku berlalu dari ruang keluarga dan kembali ke meja kerjaku.... duduk manis di depan laptop.
Beberapa detik kemudian...
“Bundaaaaa, abang alif nakal.... tadi narik.... “ Faqih melaporkan perbuatan jahil abangnya...
Belum selesai dia berteriak,
”coret aja gambar abang...” teriakku juga.
Kuintip dia dengan gembira mengambil spidol yang telah kusiapkan, dan menarik garis hitam di bawah hidung gambar abangnya membentuk kumis melintang.
Hahaha... yang lain tertawa, termasuk si abang yang pasrah melihat gambarnya dicoret.
“Bundaaaa, adik amel.....”
“Coret aja gambar dik amel kalau dia nakal....” sergahku lagi..
“Bukan bunda.... dik amel malah nyoret gambarnya sendiri...” hihihi...
Si kecil emang baru 2 tahun, belum paham aturan mainnya...
“Biarlah... “
Dan mujarab...frekuensi pertengkaran antar saudara menurun drastis selama beberapa hari... karena setiap kali ada yang menjengkelkan, dia harus menerima konsekuensi gambarnya dicoret.
Masing-masing berharap jatah jajannya tidak dihapus di akhir pekan nanti...
Sabtu sorepun tiba... evaluasi dimulai... senyum merekah tersungging di bibir mereka..
“Gimana?? Siapa yang tidak dapat jatah jajan hari ini??” aku memulai evaluasi.
Serentak mereka menjawab, “ BUNDA.....”
Alamak.... pasrah kupandang gambarku... tertutup garis-garis hitam tak beraturan......

No comments:

Post a Comment