mommy.... I can stand by myself....
tempat belajar, bermain dan bercengkrama anak-anak bunda yang sholeh dan sholehah
Sunday, January 31, 2010
Friday, January 22, 2010
RESUME BUKU "PETUNJUK JALAN" SAYYID QUTHB
Judul buku: PETUNJUK JALAN
Penulis: Sayyid Quthb
Penerbit: Gema Insani, cetakan ketiga 2006 (200 hal)
Sekilas buku ini tidak berbeda dengan buku reliji lainnya yang terdiri dari bahasan-bahasan ayat Al Qur’an dan Hadits. Namun ketika dibaca halaman demi halaman, ternyata isinya membuka pemikiran pembacanya pada suatu pemikiran revolusioner. Sesuai judul yang dikemukakan, buku ini menuntun pembaca untuk melakukan revolusi total dimulai secara individu, masyarakat, hingga negara sesuai petunjuk ke jalan tersebut yang tidak lain adalah Al Qur’an.
Dilatarbelakangi fenomena kegagalan kepemimpinan dan kegagalan sistem yang diterapkan dalam setiap bidang, penulis mengajukan pemikiran perlunya kepemimpinan (baca: Islam) yang mampu mempertahankan dan mengembangkan peradaban materiil. Kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang berbeda dengan isme-isme yang pernah ada di muka bumi dan dinyatakan gagal. Perbedaan yang nyata dari semuanya itu adalah terletak pada ”akidah” dan ”manhaj”. Tidak sekedar konsep, melainkan pula harus diwujudkan secara nyata dalam setiap sisi kehidupan sehingga tercipta kebangkitan Islam. Untuk itu, dibutuhkan adanya pionir-pionir. Buku ini diharapkan menjadi pegangan (petunjuk jalan) bagi pionir tersebut dalam mencapai kebangkitan Islam.
Bagian kedua buku ini memberikan referensi (gambaran) bagi pionir tentang generasi terbaik yang pernah ada guna memotivasi diri untuk mencapai tujuannya. Generasi tersebut merupakan generasi Qur’ani yang istimewa yang tidak lain adalah generasi para sahabat. Alasan mereka dikatakan sebagai generasi terbaik bukanlah karena pada saat itu Rasulullah SAW ada di tengah mereka, melainkan karena 3 hal, yaitu:
mereka menjadikan Al Qur’an sebagai satu-satunya sumber rujukan
para sahabat mempelajari Al Qur’an untuk menerima perintah, bukan karena rasa ingin tahu, sekedar membaca, merasakan dan menikmatinya saja.
ketika mendengar ayat-ayat Al Qur’an, mereka memutuskan seluruh kejahiliyahan masa lalu.
Secara totalitas mereka menerima manhaj yang dibawa dalam Islam. Adalah suatu keharusan bagi orang-orang yang ingin mewujudkan kebangkitan Islam untuk mengetahui sifat/karakterikstik manhaj yang dimaksud.
Penulis kemudian menjelaskannya pada bab kedua, yakni Karakteristik Manhaj Al Qur’an dalam Dakwah.
Adapun karakter yang pertama adalah bahwa manhaj ini mengusung kalimat Laa ilaaha illallaah yang tertanam dalam sanubari (al uluuhiyyah), tidak hanya nampak secara fisik, karena kalau saja mengedepankan jasad, maka efek sosial yang terjadi adalah munculnya thaghut-thaghut baru dalam peradaban dunia yang bertentangan dengan al ’ubuudiyyah. Karakter kedua adalah pergerakan yang progresif. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, bukan sekedar konsep atau teori semata yang dibutuhkan, melainkan diperlukan suatu aksi nyata untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam kehidupan.
Pada bagian ketiga buku ini dijelaskan mengenai tumbuhnya masyarakat muslim berikut karakternya. Penyimpangan dari Kehendak Allah terjadi secara global di setiap sisi kehidupan manusia, tidak lagi dalam tataran individu, tetapi sudah dalam tataran masyarakat. Gerakan sosial yang ada di masyarakat saat ini merupakan gerakan jahil yang di dalamnya juga terdapat individu-individu yang shalih. Mereka dikatakan minoritas yang dibatasi oleh sistem-sistem jahil yang berbeda dengan sistem yang Allah tetapkan. Kejahiliyahan yang ada tidak dalam bentuk teori semata, melainkan terwujud dalam sebuah gerakan. Untuk melenyapkan gerakan sosial yang jahil itu dan menggantikannya dengan yang haq, maka dibutuhkan adanya gerakan sosial yang lebih kuat, tidak sekedar konsep semata. Gerakan sosial yang haq tersebut harus dihadirkan secara sempurna, nyata dan sesungguhnya hingga dapat dengan mudah menjadi tolok ukur pemilahan antara muslim dan nonmuslim, tidak sekedar ’teoretis’. Individu muslim yang teoretis dalam sistem yang jahiliyyah akan tetap terdesak dan tertuntut untuk berbaur dalam sistem tersebut. Masyarakat muslim yang diharapkan terwujud memiliki karakteristik inklusif bukan eksklusif seperti yang pernah ada dalam setiap peradaban. Masyarakat yang tidak membeda-bedakan manusia secara kebangsaan, nasionalisme, warna kulit, maupun bahasanya (yang dianggap sebagai sifat hewan ini).
Untuk membentuk masyarakat muslim, dibutuhkan gerakan sosial yang kuat dalam bentuk jihad fi sabilillah yang dibahas dalam bagian berikutnya dalam buku ini. Jihad fi sabilillah yang didefinisikan sebagai peperangan defensif oleh kebanyakan orang selama ini tidaklah benar sepenuhnya, apalagi untuk jaman sekarang ini. Bercermin dari sirah, maka perjuangan Rasulullah dalam menegakkan kalimat Allah dilakukan melalui beberapa tahap, yang diawali dengan bertahan, bersabar, lalu memaafkan. Tahap berikutnya barulah berhijrah dan berperang (jihad). Kondisi orang-orang kafir sebelum diturunkannya perintah berjihad (surat Al Bara’ah) terbagi dalam tiga golongan: orang-orang yang terlibat dalam perjanjian damai (ahlul-ahdi wa ash shulhi), orang-orang yang diperangi (ahlul harb), dan orang-orang yang dilindungi (ahludz-dzimmah). Pada kondisi ini, beliau selalu was-was jika perjanjian tersebut dibatalkan, setelah nyata dibatalkan, barulah beliau memerangi. Setelah turunnya surat Al Bara’ah, Rasulullah diperintahkan untuk memerangi. Kelompok pertama juga terbagi menjadi tiga golongan: orang yang membatalkan perjanjian, memberontak dan memerangi, Rasulullah diperintahkan untuk memeranginya, orang yang memiliki perjanjian dan menepatinya serta tidak berkeinginan untuk memerangi, Rasulullah diperintahkan untuk menyelesaikan perjanjian sampai waktunya, dan orang-orang yang tidak mengadakan perjanjian, tetapi tidak mengusik dakwah dan menginginkan perdamaian mutlak terus-menerus, untuk kelompok ini Rasulullah diperintahkan untuk menolerir mereka sampai empat bulan, dan jika tidak mau masuk Islam, maka beliau akan memerangi. Ketiga strategi tersebut menyebabkan mereka berbondong-bondong masuk Islam, dan enggan berlama-lama dalam kekafiran. Sementara bagi kafir yang dilindungi, dikenakan jizyah. Perintah ini ada dalam surat At Taubah. Setelah itu, maka manusia yang ada di dunia ini ada tiga macam, yaitu: orang muslim yang mukmin, orang yang memerangi Islam dan selalu dalam keadaan takut, dan orang yang tunduk dan berdamai dengan Islam. Sementara terhadap orang-orang munafik, Rasulullah diperintahkan untuk menerima kepura-puraan mereka dengan baik dan menyerahkan kepada Allah segala hal yang mereka sembunyikan.
Demikian fase-fase jihad pada jaman Rasulullah. Fase-fase yang dilalui tersebut memiliki karakter: realistis (tidak hanya persuasif (dakwah), tetapi juga menggunakan fisik (jihad), progresif (berkesinambungan dan setiap fase perkembangannya ada perangkat pendukung tertentu bagi kondisi dan kebutuhan reallistisnya), terpola dan memiliki tujuan yang jelas(pengahambaan kepada Allah secara ikhlas), serta pro perdamaian dan sesuai dengan aturan legal. Jihad tidak identik dengan peperangan defensif, melainkan usaha atau gerakan pembebasan manusia di muka bumi dari penghambaan manusia atas manusia lainnya yang salah satu bentuknya adalah penghambaan terhadap hawa nafsu. Dapat pula dikatakan bahwa jihad ditujukan untuk mencabut segala kekuasaan Allah yang dicuri dan mengembalikannya kapada Allah, meruntuhkan kerajaan manusia dan mendirikan kerajaan Allah di muka bumi yang berarti bukan menyerahkan kepemimpinan kepada agamawan seperti kekuasaan gereja yang pernah ada, atau melegitimasi bagi orang-orang yang mengatasnamakan tuhan untuk memegang kendali kekuasaan. Yang dimaksud mendirikan kerajaan Allah adalah menjadikan kedaulatan bagi syariat Allah semata.
Usaha ini dilakukan tidak cukup melalui penjelasan semata ( al Bayaan) yang berhadapan dengan keyakinan (ideologi) dan pandangan (konsepsi) hidup, melainkan diperlukan pula pergerakan (al harakah) yang menghadapi rintangan materiil, terutama kekuasaan politik. Penulis berpendapat bahwa untuk tujuan tersebut, maka kedua hal itu (penjelasan dan pergerakan) harus dilakukan sekaligus.
Pada bagian terakhir bab ini dijelaskan mengenai pengertian jihad yang terpaksanya sebagai peperangan defensif (mempertahankan diri). Justru dengan definisi ini, kita dapat menemukan hakikat motif jihad di dalam Islam. Disebutkan pada bagian lain bab ini bahwa peperangan ditujukan untuk menjaga eksistensi manusia dan mengeliminir kerusakan bumi.
Kemudian dijelaskan pula mengenai hikmah perintah jihad pada setiap fasenya, misal ketika di mekah diperintahkan bersabar. Hal ini berguna untuk melatih diri kaum muslim yang merupakan bangsa arab yang terkenal dengan ketidaksabarannya, sementara pada fase di madinah, diketahui bahwa masih terdapat keleluasaan untuk melakukan dakwah lisan yang tidak ada satupun kekuasaan politik yang menghalangi. Di Madinah pula Rasulullah berkonsentrasi pada kaum Quraisy yang menjadi penghalang bagi kabilah lain yang ingin memeluk Islam. Fase-fase ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pengertian jihad sebagai peperangan defensif sungguh tidak tepat.
Sesungguhnya landasan jihad islami adalah mengeluarkan orang-orang yang Ia kehendaki dari penghambaan hamba kepada penghambaan kepada Allah semata.
Bagian berikutnya pada buku ini adalah penjelasan mengenai penghambaan kepada Allah, yakni Laa Ilaaha Illallaah Sebuah Pedoman Hidup. Pada bagian ini dijelaskan bahwa kehidupan manusia (umat islam) haruslah berlandaskan kalimat syahadat, dengan kata lain kehidupan tidak disebut sebagai kehidupan islami jika tidak berlandaskan kalimat ini. Beberapa kelompok masyarakat yang ada di bumi ini dijelaskan pada bagian ini, yaitu: masyarakat muslim dan masyarakat jahiliyyah yakni: masyarakat yang tidak mengikhlaskan penghambaannya kepada Allah semata, yang nampak pada keyakinan, pandangan hidup, ritual peribadatan dan syariaat perundang-undangan mereka. Masyarakat jahiliyyah ini terdiri dari, komunis, penyembah berhala,yahudi, kristen, dan masyarakat yang menyatakan dirinya ’masyarakat islam’ itu sendiri. Kelompok yang terakhir ini digolongkan jahil bukan karena menuhankan seseorang, bukan pula melakukan upacara agama untuk seseorang selain Allah, melainkan mereka tidak merealisasikan penghambaan kepada Allah semata dalam sistem kehidupannya. Sebagian mereka mengaku sekuler.
Kelompok masyarakat selain masyarakat Islami menerapkan hukum-hukum yang bukan bersumber dari Allah semata. Akibatnya, tidak jarang terjadi benturan-benturan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Alam dengan segala wujudnya memerlukan suatu aturan yang bersifat universal yang mengatur hubungan antara satu eksistensi dengan yang lainnya, mengatur semua gerakannya, agar tidak berbenturan, tidak rusak, hingga pada suatu masa yang telah dikehendaki Allah. Bab berikutnya di dalam buku ini dibahas mengenai Syariat Universal. Aturan yang diciptakan manusia mungkin saja membuat nyaman diri mereka secara temporer, tetapi aturan tersebut ternyata tidak mampu membuat keserasian total antara kehidupan manusia dan gerak alam semesta, bahakan antara fitrah mereka yang tersembunyi dengan kehidupan yang nyata. Yang mampu membuat aturan yang dapat menciptakan keserasian secara total adalah Pencipta Alam Semesta dan Pencipta manusia itu sendiri, yakni Allah. Saat merealisasikan keseimbangan yang mutlak antara kehidupan manusia dan hukum alam semsta akan terlahir segala kebaikan untuk manusia dan kerusakan dapat dihindari. Manusia sesungguhnya mengakui fitrah dari wujud kejadiannya dan wujud alam yang ada di sekelilingnya, namun saat pengaruh nafsu mulai menguasai jiwanya, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan. Hal ini menimbulkan perselisihan antar kelompok, bahkan antar bangsa dan generasi yang mengakibatkan potensi alam berubah menjadi alat kehancuran dan sumber kesengsaraan. Dengan demikian, hukum yang sesungguhnya dibutuhkan dalam jalinan keterkaitan antara manusia dengan alam adalah syariat Allah yang secara total merupakan hukum yang universal.
Islam Sebuah Peradaban. Peradaban dibangun dan dibentuk oleh kehidupan manusia. Namun peradaban yang ada saat ini diwujudkan oleh manusia-manusia yang menjadi tuhan-tuhan pencipta peraturan dan sebagian manusia lainnya menjadi budak yang mematuhi peraturan. Peradaban seperti ini membuat kemerdekaan dan martabat manusia itu sendiri sesungguhnya sama sekali hilang.
Peradaban sesungguhnya adalah apabila kekuasaan tertinggi dalam suatu masyarakat kembali kepada Allah semata yang tercermin dalam ketinggian martabat manusia itu sendiri. Ketinggian martabat manusia berarti membebaskan manusia dengan sempurna dan dengan sesungguhnya dari penghambaan manusia. Nilai tertinggi dalam suatu masyarakat bisa berupa kemanusiaan berikut ciri-ciri khasnya dan bisa pula berupa materi/benda. Namun bila nilai tertinggi tersebut berupa materi, apapun bentuknya, berikut produksi materi itu sendiri, maka masyarakat itu adalah masyarakat jahil. Terbentuknya masyarakat yang berperadaban tidak terjadi dengan sendirinya. Masyarakat yang memiliki martabat yang tinggi tidak berarti semua pada posisi yang sama sehingga tidak ada atasan dan bawahan, melainkan masyarakat yang menempatkan individu sesuai dengan kemampuannya dan sesuai nilai yang ada di dalamnya sehingga ia mampu menentukan bagi setiap individu tersebut tugas dan posisi masing-masing. Karena nilai yang dibawa oleh setiap individu adalah sama, maka meskipun posisi dan tugas mereka berbeda satu sama lain, tidak akan terjadi pergesekan. Yang terjadi adalah justru keharmonisan dan keteraturan tugas yang merupakan karakteristik dari peradaban islam itu sendiri.
Pandangan Islam dan Kebudayaan. Kegiatan seni secara umum diartikan sebagai ekspresi kemanusiaan mengenai gambaran-gambaran manusia, pengalaman dan jawaban-jawabannya, juga tentang gambaran eksistensi dan kehidupan di dalam jiwa manusia. Hal ini tentu saja bagi seorang muslim harus dihukumi dan ditumbuhkembangkan dengan pandangan islami. Islam memandang bahwasanya ada dua macam kebudayaan: kebudayaan islam yang terdiri atas kaidah-kaidah pandangan islam dan kebudayaan jahili yang terdiri atas beragam paradigma yang kembali pada satu kaidah, yaitu kaidah yang didasarkan pada pembentukan pola pikir ketuhanan yang tidak merujuk pada Allah di dalam pertimbangan-pertimbangannya.
Kewarganegaraan Seorang Muslim adalah Akidahnya. Bumi diciptakan Allah untuk tempat tinggal manusia. Di sebagian wilayah yang ada di bumi dikatakan sebagai wilayah damai (daarul Islam) sementara di sebagian yang lain dinamakan daarul harb (wilayah perang). Di daarul Islam terdapat negara yang muslim, dilindungi oleh syariat Allah dan disana ditegakkan hukum Allah, muslim disana saling tolong-menolong. Sementara di daarul harb, mungkin saja di sana ada muslim, tetapi di sana tidak akan ditemukan adanya loyalitas/ikatan antara sesama muslim yang berdasarkan ikatan iman. Kewarganegaraan seorang muslim hanyalah akidah kepercayaannya yang menjadikannya anggota dari umat yang muslim di daarul Islam. Wilayah dimana Islam tidak ditegakkan serta syariat Islam tidak diberlakukan adalah daarul harb bagi seorang Islam dan juga bagi seorang dzimmi yang melakukan perjanjian dengan umat muslim. Wilayah itu harus diperangi oleh seorang muslim meskipun disana tempat kelahirannya, tempat tinggal sanak keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan dalam islam tidak sekedar ikatan kekeluargaan, bukan hubungan kesukuan ataupun marga. Islam membebaskan manusia dari semua ikatan tersebut agar bebas menuju ke langit.
Perubahan Revolusioner. Keberadaan Islam di tengah-tengah kehidupan jahiliyah bukan untuk menyelaraskan diri dengan pandangan-pandangan jahiliyah tersebut, melainkan mengentaskan manusia dari kejahiliyahan itu sendiri. Tugas utama Islam adalah membangun satu kehidupan manusiawi yang selaras dengan karakteristik Islami dengan cara menggantikan pandangan dan kebiasaan jahiliyah dengan pandangan dan kebiasaan Islam.
Kepercayaan Diri yang Bersumber dari Iman. ”Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS.3:139) merupakan ayat yang melukiskan keadaan abadi yang harus menjadi perasaan bagi seorang mukmin, menjadi cara pandang dan menjadi ukurannya dalam menilai suatu peristiwa. Suatu keadaan yang tertinggi yang harus mendasar dalam kalbu seorang mukmin dalam menghadapi apapun, suatu perasaan bangga yang disyukuri. Perasaan bangga ini bukan didasarkan pada motif individual, tidak didorong oleh kesombongan dan semangat yang meluap-luap, melainkan didasarkan atas kebenaran iman yang mantap. Seorang mukmin tidak akan mendasarkan nilai, konsepsi, dan neracanya kepada manusia, hingga mendapat penghargaan yang tinggi dari manusia ia justru akan mendasarkan semuanya itu kepada Allah semata.
Inilah Jalan Itu. Kisah Ash-habul Ukhudud memaparkan konsepsi karakteristik dakwah Islamiyah, peranan manusia dalam dakwah dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di dalamnya. Karakteristik yang pertama, jalan dakwah bukanlah jalan yang lancar dan mulus, melainkan sebuah jalan yang penuh duri, hambatan dan cobaan, yang semakin menjadi, hambatan tersebut berasal dari pihak-pihak yang membenci Islam. Karakter kedua, pelaku dakwah, dengan rintangan yang menghalang tersbut, tidak menjadi kendor semangatnya, justru sebaliknya, iman mereka semakin bertambah. Hal ini disebabkan keyakinan yang kuat akan balasan kenikamatan syurga Allah yang akan mereka terima nanti. Karakter ketiga, umumnya pelaku dakwah akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang bersifat duniawi sebagai taruhan keimanan mereka, namun tentu saja pelaku dakwah akan memilih kemuliaan di sisi Allah. Karakter keempat, akhir dari perjalanan dakwah bisa menyerupai persis peristiwa ash-habul uhkdud (kemusnahan mukmin dan kegembiraan orang kafir), namun bisa juga sebaliknya. Hal ini dikatakan bahwa pelaku dakwah tidak akan dimintai pertangunggjawaban apapun mngenai hal ini. Poin utama yang dipertanyakan adalah permasalahan akidah mereka di hadapan Allah. Tugas mereka adalah menunaikan kewajiban yang menjadikan Allah sebagi satu-satunya tuhan, mengutamakan akidah daripada kehidupan duniawi, penuh percaya diri dengan iman yang dimiliki, menyandarkan diri hanya pada Allah atas seluruh amal dan niatnya. Itu semua tidak lain adalah jalan menuju keridhaan Allah.
Penulis: Sayyid Quthb
Penerbit: Gema Insani, cetakan ketiga 2006 (200 hal)
Sekilas buku ini tidak berbeda dengan buku reliji lainnya yang terdiri dari bahasan-bahasan ayat Al Qur’an dan Hadits. Namun ketika dibaca halaman demi halaman, ternyata isinya membuka pemikiran pembacanya pada suatu pemikiran revolusioner. Sesuai judul yang dikemukakan, buku ini menuntun pembaca untuk melakukan revolusi total dimulai secara individu, masyarakat, hingga negara sesuai petunjuk ke jalan tersebut yang tidak lain adalah Al Qur’an.
Dilatarbelakangi fenomena kegagalan kepemimpinan dan kegagalan sistem yang diterapkan dalam setiap bidang, penulis mengajukan pemikiran perlunya kepemimpinan (baca: Islam) yang mampu mempertahankan dan mengembangkan peradaban materiil. Kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang berbeda dengan isme-isme yang pernah ada di muka bumi dan dinyatakan gagal. Perbedaan yang nyata dari semuanya itu adalah terletak pada ”akidah” dan ”manhaj”. Tidak sekedar konsep, melainkan pula harus diwujudkan secara nyata dalam setiap sisi kehidupan sehingga tercipta kebangkitan Islam. Untuk itu, dibutuhkan adanya pionir-pionir. Buku ini diharapkan menjadi pegangan (petunjuk jalan) bagi pionir tersebut dalam mencapai kebangkitan Islam.
Bagian kedua buku ini memberikan referensi (gambaran) bagi pionir tentang generasi terbaik yang pernah ada guna memotivasi diri untuk mencapai tujuannya. Generasi tersebut merupakan generasi Qur’ani yang istimewa yang tidak lain adalah generasi para sahabat. Alasan mereka dikatakan sebagai generasi terbaik bukanlah karena pada saat itu Rasulullah SAW ada di tengah mereka, melainkan karena 3 hal, yaitu:
mereka menjadikan Al Qur’an sebagai satu-satunya sumber rujukan
para sahabat mempelajari Al Qur’an untuk menerima perintah, bukan karena rasa ingin tahu, sekedar membaca, merasakan dan menikmatinya saja.
ketika mendengar ayat-ayat Al Qur’an, mereka memutuskan seluruh kejahiliyahan masa lalu.
Secara totalitas mereka menerima manhaj yang dibawa dalam Islam. Adalah suatu keharusan bagi orang-orang yang ingin mewujudkan kebangkitan Islam untuk mengetahui sifat/karakterikstik manhaj yang dimaksud.
Penulis kemudian menjelaskannya pada bab kedua, yakni Karakteristik Manhaj Al Qur’an dalam Dakwah.
Adapun karakter yang pertama adalah bahwa manhaj ini mengusung kalimat Laa ilaaha illallaah yang tertanam dalam sanubari (al uluuhiyyah), tidak hanya nampak secara fisik, karena kalau saja mengedepankan jasad, maka efek sosial yang terjadi adalah munculnya thaghut-thaghut baru dalam peradaban dunia yang bertentangan dengan al ’ubuudiyyah. Karakter kedua adalah pergerakan yang progresif. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, bukan sekedar konsep atau teori semata yang dibutuhkan, melainkan diperlukan suatu aksi nyata untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam kehidupan.
Pada bagian ketiga buku ini dijelaskan mengenai tumbuhnya masyarakat muslim berikut karakternya. Penyimpangan dari Kehendak Allah terjadi secara global di setiap sisi kehidupan manusia, tidak lagi dalam tataran individu, tetapi sudah dalam tataran masyarakat. Gerakan sosial yang ada di masyarakat saat ini merupakan gerakan jahil yang di dalamnya juga terdapat individu-individu yang shalih. Mereka dikatakan minoritas yang dibatasi oleh sistem-sistem jahil yang berbeda dengan sistem yang Allah tetapkan. Kejahiliyahan yang ada tidak dalam bentuk teori semata, melainkan terwujud dalam sebuah gerakan. Untuk melenyapkan gerakan sosial yang jahil itu dan menggantikannya dengan yang haq, maka dibutuhkan adanya gerakan sosial yang lebih kuat, tidak sekedar konsep semata. Gerakan sosial yang haq tersebut harus dihadirkan secara sempurna, nyata dan sesungguhnya hingga dapat dengan mudah menjadi tolok ukur pemilahan antara muslim dan nonmuslim, tidak sekedar ’teoretis’. Individu muslim yang teoretis dalam sistem yang jahiliyyah akan tetap terdesak dan tertuntut untuk berbaur dalam sistem tersebut. Masyarakat muslim yang diharapkan terwujud memiliki karakteristik inklusif bukan eksklusif seperti yang pernah ada dalam setiap peradaban. Masyarakat yang tidak membeda-bedakan manusia secara kebangsaan, nasionalisme, warna kulit, maupun bahasanya (yang dianggap sebagai sifat hewan ini).
Untuk membentuk masyarakat muslim, dibutuhkan gerakan sosial yang kuat dalam bentuk jihad fi sabilillah yang dibahas dalam bagian berikutnya dalam buku ini. Jihad fi sabilillah yang didefinisikan sebagai peperangan defensif oleh kebanyakan orang selama ini tidaklah benar sepenuhnya, apalagi untuk jaman sekarang ini. Bercermin dari sirah, maka perjuangan Rasulullah dalam menegakkan kalimat Allah dilakukan melalui beberapa tahap, yang diawali dengan bertahan, bersabar, lalu memaafkan. Tahap berikutnya barulah berhijrah dan berperang (jihad). Kondisi orang-orang kafir sebelum diturunkannya perintah berjihad (surat Al Bara’ah) terbagi dalam tiga golongan: orang-orang yang terlibat dalam perjanjian damai (ahlul-ahdi wa ash shulhi), orang-orang yang diperangi (ahlul harb), dan orang-orang yang dilindungi (ahludz-dzimmah). Pada kondisi ini, beliau selalu was-was jika perjanjian tersebut dibatalkan, setelah nyata dibatalkan, barulah beliau memerangi. Setelah turunnya surat Al Bara’ah, Rasulullah diperintahkan untuk memerangi. Kelompok pertama juga terbagi menjadi tiga golongan: orang yang membatalkan perjanjian, memberontak dan memerangi, Rasulullah diperintahkan untuk memeranginya, orang yang memiliki perjanjian dan menepatinya serta tidak berkeinginan untuk memerangi, Rasulullah diperintahkan untuk menyelesaikan perjanjian sampai waktunya, dan orang-orang yang tidak mengadakan perjanjian, tetapi tidak mengusik dakwah dan menginginkan perdamaian mutlak terus-menerus, untuk kelompok ini Rasulullah diperintahkan untuk menolerir mereka sampai empat bulan, dan jika tidak mau masuk Islam, maka beliau akan memerangi. Ketiga strategi tersebut menyebabkan mereka berbondong-bondong masuk Islam, dan enggan berlama-lama dalam kekafiran. Sementara bagi kafir yang dilindungi, dikenakan jizyah. Perintah ini ada dalam surat At Taubah. Setelah itu, maka manusia yang ada di dunia ini ada tiga macam, yaitu: orang muslim yang mukmin, orang yang memerangi Islam dan selalu dalam keadaan takut, dan orang yang tunduk dan berdamai dengan Islam. Sementara terhadap orang-orang munafik, Rasulullah diperintahkan untuk menerima kepura-puraan mereka dengan baik dan menyerahkan kepada Allah segala hal yang mereka sembunyikan.
Demikian fase-fase jihad pada jaman Rasulullah. Fase-fase yang dilalui tersebut memiliki karakter: realistis (tidak hanya persuasif (dakwah), tetapi juga menggunakan fisik (jihad), progresif (berkesinambungan dan setiap fase perkembangannya ada perangkat pendukung tertentu bagi kondisi dan kebutuhan reallistisnya), terpola dan memiliki tujuan yang jelas(pengahambaan kepada Allah secara ikhlas), serta pro perdamaian dan sesuai dengan aturan legal. Jihad tidak identik dengan peperangan defensif, melainkan usaha atau gerakan pembebasan manusia di muka bumi dari penghambaan manusia atas manusia lainnya yang salah satu bentuknya adalah penghambaan terhadap hawa nafsu. Dapat pula dikatakan bahwa jihad ditujukan untuk mencabut segala kekuasaan Allah yang dicuri dan mengembalikannya kapada Allah, meruntuhkan kerajaan manusia dan mendirikan kerajaan Allah di muka bumi yang berarti bukan menyerahkan kepemimpinan kepada agamawan seperti kekuasaan gereja yang pernah ada, atau melegitimasi bagi orang-orang yang mengatasnamakan tuhan untuk memegang kendali kekuasaan. Yang dimaksud mendirikan kerajaan Allah adalah menjadikan kedaulatan bagi syariat Allah semata.
Usaha ini dilakukan tidak cukup melalui penjelasan semata ( al Bayaan) yang berhadapan dengan keyakinan (ideologi) dan pandangan (konsepsi) hidup, melainkan diperlukan pula pergerakan (al harakah) yang menghadapi rintangan materiil, terutama kekuasaan politik. Penulis berpendapat bahwa untuk tujuan tersebut, maka kedua hal itu (penjelasan dan pergerakan) harus dilakukan sekaligus.
Pada bagian terakhir bab ini dijelaskan mengenai pengertian jihad yang terpaksanya sebagai peperangan defensif (mempertahankan diri). Justru dengan definisi ini, kita dapat menemukan hakikat motif jihad di dalam Islam. Disebutkan pada bagian lain bab ini bahwa peperangan ditujukan untuk menjaga eksistensi manusia dan mengeliminir kerusakan bumi.
Kemudian dijelaskan pula mengenai hikmah perintah jihad pada setiap fasenya, misal ketika di mekah diperintahkan bersabar. Hal ini berguna untuk melatih diri kaum muslim yang merupakan bangsa arab yang terkenal dengan ketidaksabarannya, sementara pada fase di madinah, diketahui bahwa masih terdapat keleluasaan untuk melakukan dakwah lisan yang tidak ada satupun kekuasaan politik yang menghalangi. Di Madinah pula Rasulullah berkonsentrasi pada kaum Quraisy yang menjadi penghalang bagi kabilah lain yang ingin memeluk Islam. Fase-fase ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pengertian jihad sebagai peperangan defensif sungguh tidak tepat.
Sesungguhnya landasan jihad islami adalah mengeluarkan orang-orang yang Ia kehendaki dari penghambaan hamba kepada penghambaan kepada Allah semata.
Bagian berikutnya pada buku ini adalah penjelasan mengenai penghambaan kepada Allah, yakni Laa Ilaaha Illallaah Sebuah Pedoman Hidup. Pada bagian ini dijelaskan bahwa kehidupan manusia (umat islam) haruslah berlandaskan kalimat syahadat, dengan kata lain kehidupan tidak disebut sebagai kehidupan islami jika tidak berlandaskan kalimat ini. Beberapa kelompok masyarakat yang ada di bumi ini dijelaskan pada bagian ini, yaitu: masyarakat muslim dan masyarakat jahiliyyah yakni: masyarakat yang tidak mengikhlaskan penghambaannya kepada Allah semata, yang nampak pada keyakinan, pandangan hidup, ritual peribadatan dan syariaat perundang-undangan mereka. Masyarakat jahiliyyah ini terdiri dari, komunis, penyembah berhala,yahudi, kristen, dan masyarakat yang menyatakan dirinya ’masyarakat islam’ itu sendiri. Kelompok yang terakhir ini digolongkan jahil bukan karena menuhankan seseorang, bukan pula melakukan upacara agama untuk seseorang selain Allah, melainkan mereka tidak merealisasikan penghambaan kepada Allah semata dalam sistem kehidupannya. Sebagian mereka mengaku sekuler.
Kelompok masyarakat selain masyarakat Islami menerapkan hukum-hukum yang bukan bersumber dari Allah semata. Akibatnya, tidak jarang terjadi benturan-benturan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Alam dengan segala wujudnya memerlukan suatu aturan yang bersifat universal yang mengatur hubungan antara satu eksistensi dengan yang lainnya, mengatur semua gerakannya, agar tidak berbenturan, tidak rusak, hingga pada suatu masa yang telah dikehendaki Allah. Bab berikutnya di dalam buku ini dibahas mengenai Syariat Universal. Aturan yang diciptakan manusia mungkin saja membuat nyaman diri mereka secara temporer, tetapi aturan tersebut ternyata tidak mampu membuat keserasian total antara kehidupan manusia dan gerak alam semesta, bahakan antara fitrah mereka yang tersembunyi dengan kehidupan yang nyata. Yang mampu membuat aturan yang dapat menciptakan keserasian secara total adalah Pencipta Alam Semesta dan Pencipta manusia itu sendiri, yakni Allah. Saat merealisasikan keseimbangan yang mutlak antara kehidupan manusia dan hukum alam semsta akan terlahir segala kebaikan untuk manusia dan kerusakan dapat dihindari. Manusia sesungguhnya mengakui fitrah dari wujud kejadiannya dan wujud alam yang ada di sekelilingnya, namun saat pengaruh nafsu mulai menguasai jiwanya, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan. Hal ini menimbulkan perselisihan antar kelompok, bahkan antar bangsa dan generasi yang mengakibatkan potensi alam berubah menjadi alat kehancuran dan sumber kesengsaraan. Dengan demikian, hukum yang sesungguhnya dibutuhkan dalam jalinan keterkaitan antara manusia dengan alam adalah syariat Allah yang secara total merupakan hukum yang universal.
Islam Sebuah Peradaban. Peradaban dibangun dan dibentuk oleh kehidupan manusia. Namun peradaban yang ada saat ini diwujudkan oleh manusia-manusia yang menjadi tuhan-tuhan pencipta peraturan dan sebagian manusia lainnya menjadi budak yang mematuhi peraturan. Peradaban seperti ini membuat kemerdekaan dan martabat manusia itu sendiri sesungguhnya sama sekali hilang.
Peradaban sesungguhnya adalah apabila kekuasaan tertinggi dalam suatu masyarakat kembali kepada Allah semata yang tercermin dalam ketinggian martabat manusia itu sendiri. Ketinggian martabat manusia berarti membebaskan manusia dengan sempurna dan dengan sesungguhnya dari penghambaan manusia. Nilai tertinggi dalam suatu masyarakat bisa berupa kemanusiaan berikut ciri-ciri khasnya dan bisa pula berupa materi/benda. Namun bila nilai tertinggi tersebut berupa materi, apapun bentuknya, berikut produksi materi itu sendiri, maka masyarakat itu adalah masyarakat jahil. Terbentuknya masyarakat yang berperadaban tidak terjadi dengan sendirinya. Masyarakat yang memiliki martabat yang tinggi tidak berarti semua pada posisi yang sama sehingga tidak ada atasan dan bawahan, melainkan masyarakat yang menempatkan individu sesuai dengan kemampuannya dan sesuai nilai yang ada di dalamnya sehingga ia mampu menentukan bagi setiap individu tersebut tugas dan posisi masing-masing. Karena nilai yang dibawa oleh setiap individu adalah sama, maka meskipun posisi dan tugas mereka berbeda satu sama lain, tidak akan terjadi pergesekan. Yang terjadi adalah justru keharmonisan dan keteraturan tugas yang merupakan karakteristik dari peradaban islam itu sendiri.
Pandangan Islam dan Kebudayaan. Kegiatan seni secara umum diartikan sebagai ekspresi kemanusiaan mengenai gambaran-gambaran manusia, pengalaman dan jawaban-jawabannya, juga tentang gambaran eksistensi dan kehidupan di dalam jiwa manusia. Hal ini tentu saja bagi seorang muslim harus dihukumi dan ditumbuhkembangkan dengan pandangan islami. Islam memandang bahwasanya ada dua macam kebudayaan: kebudayaan islam yang terdiri atas kaidah-kaidah pandangan islam dan kebudayaan jahili yang terdiri atas beragam paradigma yang kembali pada satu kaidah, yaitu kaidah yang didasarkan pada pembentukan pola pikir ketuhanan yang tidak merujuk pada Allah di dalam pertimbangan-pertimbangannya.
Kewarganegaraan Seorang Muslim adalah Akidahnya. Bumi diciptakan Allah untuk tempat tinggal manusia. Di sebagian wilayah yang ada di bumi dikatakan sebagai wilayah damai (daarul Islam) sementara di sebagian yang lain dinamakan daarul harb (wilayah perang). Di daarul Islam terdapat negara yang muslim, dilindungi oleh syariat Allah dan disana ditegakkan hukum Allah, muslim disana saling tolong-menolong. Sementara di daarul harb, mungkin saja di sana ada muslim, tetapi di sana tidak akan ditemukan adanya loyalitas/ikatan antara sesama muslim yang berdasarkan ikatan iman. Kewarganegaraan seorang muslim hanyalah akidah kepercayaannya yang menjadikannya anggota dari umat yang muslim di daarul Islam. Wilayah dimana Islam tidak ditegakkan serta syariat Islam tidak diberlakukan adalah daarul harb bagi seorang Islam dan juga bagi seorang dzimmi yang melakukan perjanjian dengan umat muslim. Wilayah itu harus diperangi oleh seorang muslim meskipun disana tempat kelahirannya, tempat tinggal sanak keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan dalam islam tidak sekedar ikatan kekeluargaan, bukan hubungan kesukuan ataupun marga. Islam membebaskan manusia dari semua ikatan tersebut agar bebas menuju ke langit.
Perubahan Revolusioner. Keberadaan Islam di tengah-tengah kehidupan jahiliyah bukan untuk menyelaraskan diri dengan pandangan-pandangan jahiliyah tersebut, melainkan mengentaskan manusia dari kejahiliyahan itu sendiri. Tugas utama Islam adalah membangun satu kehidupan manusiawi yang selaras dengan karakteristik Islami dengan cara menggantikan pandangan dan kebiasaan jahiliyah dengan pandangan dan kebiasaan Islam.
Kepercayaan Diri yang Bersumber dari Iman. ”Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS.3:139) merupakan ayat yang melukiskan keadaan abadi yang harus menjadi perasaan bagi seorang mukmin, menjadi cara pandang dan menjadi ukurannya dalam menilai suatu peristiwa. Suatu keadaan yang tertinggi yang harus mendasar dalam kalbu seorang mukmin dalam menghadapi apapun, suatu perasaan bangga yang disyukuri. Perasaan bangga ini bukan didasarkan pada motif individual, tidak didorong oleh kesombongan dan semangat yang meluap-luap, melainkan didasarkan atas kebenaran iman yang mantap. Seorang mukmin tidak akan mendasarkan nilai, konsepsi, dan neracanya kepada manusia, hingga mendapat penghargaan yang tinggi dari manusia ia justru akan mendasarkan semuanya itu kepada Allah semata.
Inilah Jalan Itu. Kisah Ash-habul Ukhudud memaparkan konsepsi karakteristik dakwah Islamiyah, peranan manusia dalam dakwah dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di dalamnya. Karakteristik yang pertama, jalan dakwah bukanlah jalan yang lancar dan mulus, melainkan sebuah jalan yang penuh duri, hambatan dan cobaan, yang semakin menjadi, hambatan tersebut berasal dari pihak-pihak yang membenci Islam. Karakter kedua, pelaku dakwah, dengan rintangan yang menghalang tersbut, tidak menjadi kendor semangatnya, justru sebaliknya, iman mereka semakin bertambah. Hal ini disebabkan keyakinan yang kuat akan balasan kenikamatan syurga Allah yang akan mereka terima nanti. Karakter ketiga, umumnya pelaku dakwah akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang bersifat duniawi sebagai taruhan keimanan mereka, namun tentu saja pelaku dakwah akan memilih kemuliaan di sisi Allah. Karakter keempat, akhir dari perjalanan dakwah bisa menyerupai persis peristiwa ash-habul uhkdud (kemusnahan mukmin dan kegembiraan orang kafir), namun bisa juga sebaliknya. Hal ini dikatakan bahwa pelaku dakwah tidak akan dimintai pertangunggjawaban apapun mngenai hal ini. Poin utama yang dipertanyakan adalah permasalahan akidah mereka di hadapan Allah. Tugas mereka adalah menunaikan kewajiban yang menjadikan Allah sebagi satu-satunya tuhan, mengutamakan akidah daripada kehidupan duniawi, penuh percaya diri dengan iman yang dimiliki, menyandarkan diri hanya pada Allah atas seluruh amal dan niatnya. Itu semua tidak lain adalah jalan menuju keridhaan Allah.
Sunday, January 3, 2010
LUPANYA NABI ADAM AS
LUPANYA NABI ADAM AS
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita
Salah satu sifat dasar yang dimiliki manusia adalah sifat lupa. Hiperbolis sifat ini berupa kelalaian. Namun ada pula kondisi dimana ’lupa’ menjadi sesuatu yang memang disengaja. Terlepas dari dari disengaja atau tidak, sifat lupa umumnya menimbulkan permasalahan yang merugikan beberapa pihak yang terlibat. Mulai dari permasalahan pribadi hingga permasalahan besar yang dihadapi bangsa saat ini pada dasarnya diakibatkan sifat lupa.
Salah satu solusi yang ditawarkan Islam untuk mengatasi sifat ini adalah dengan membuat catatan. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al Baqarah 282 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengdiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengdiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.2:282.)
Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya mengatakan bahwa inilah ayat yang terpanjang dari semua ayat Al Qur’an. Ibnu Abbas ra. berkata: ” Ketika turun ayat yang mengenai utang piutang ini, tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya yang pertama ingkar janji adalah Adam as. Ketika Allah menciptakannya kemudian mengusap punggungnya dan keluar semua anak cucunya hingga hari qiyamat, dan ketika ia melihat satu persatu, terlihat padanya seorang pemuda yang tampan rupawan, lalu ia bertanya: ”Siapakah itu?” Dijawab: ”Putramu Dawud.” Ia bertanya:”Berapakah umurnya?” Dijawab: ”Enam puluh tahun.” Lalu ia berdoa: ”Ya, Allah, tambahkan umurnya”. Jawab Tuhan,”Tidak, kecuali jika dipotong dari umurmu”, sedang umur Adam seribu tahun, maka ditambahkan kepada Dawud empat puluh tahun, maka ditulis perjanjian itu dan disaksikan oleh malaikat. Kemudian ketika Adam didatangi malaikat yang akan mencabut ruhnya, ia berkata: ” umurku masih bersisa empat puluh tahun.” Kemudian diberitahu bahwa Adam telah memberikan umurnya kepada putranya Dawud. Jawab adam: ”Tidak.” maka Allah memperlihatkan kepadanya surat catatan perjanjian dan disaksikan oleh para malaikat. (HR. Ahmad)
\
Ayat ini berupa tuntunan Allah kepada hambaNya yang beriman jika mereka dalam mu’amalah utang piutang supaya ditulis, dengan kadar tertentu, waktu yang tertentu dan mudah dalam persaksiannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya keraguan di kemudian hari.
Lupa terhadap sesuatu merupakan hal yang wajar. Beruntunglah manusia (yang tercermin dalam kisah nabi Adam as) memiliki sifat lupa, karena apabila ia selalu mengingat detail yang ia lakukan, baik kesenangan maupun kesalahannya, maka besar kemungkinan manusia itu akan mengalami depresi akibat teringat selalu atas dosa yang dilakukannya. Daya ingatnya akan overload, termasuk apabila ia selalu ingat rasa sakit yang luar biasa yang pernah dialaminya.
Akuntansi merupakan catatan secara kronologis tentang kegiatan ekonomis dalam sebuah entitas (perusahaan) Dengan catatan inilah, manajemen perusahaan (yang terdiri dari manusia-manusia dengan sifat lupanya) mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap apa yang diamanahkan kepadanya. Dengan adanya catatan, manajemen tidak lupa dengan segala sesuatu yang terjadi di perusahaannya, kecuali memang ada kesengajaan untuk melupakan sesuatu untuk suatu kepentingan. Jika sengaja melupakan sesuatu, maka tentu saja akan ada permasalahan di kemudian hari. Wallahu’alam bissawab.
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita
Salah satu sifat dasar yang dimiliki manusia adalah sifat lupa. Hiperbolis sifat ini berupa kelalaian. Namun ada pula kondisi dimana ’lupa’ menjadi sesuatu yang memang disengaja. Terlepas dari dari disengaja atau tidak, sifat lupa umumnya menimbulkan permasalahan yang merugikan beberapa pihak yang terlibat. Mulai dari permasalahan pribadi hingga permasalahan besar yang dihadapi bangsa saat ini pada dasarnya diakibatkan sifat lupa.
Salah satu solusi yang ditawarkan Islam untuk mengatasi sifat ini adalah dengan membuat catatan. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al Baqarah 282 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengdiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengdiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.2:282.)
Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya mengatakan bahwa inilah ayat yang terpanjang dari semua ayat Al Qur’an. Ibnu Abbas ra. berkata: ” Ketika turun ayat yang mengenai utang piutang ini, tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya yang pertama ingkar janji adalah Adam as. Ketika Allah menciptakannya kemudian mengusap punggungnya dan keluar semua anak cucunya hingga hari qiyamat, dan ketika ia melihat satu persatu, terlihat padanya seorang pemuda yang tampan rupawan, lalu ia bertanya: ”Siapakah itu?” Dijawab: ”Putramu Dawud.” Ia bertanya:”Berapakah umurnya?” Dijawab: ”Enam puluh tahun.” Lalu ia berdoa: ”Ya, Allah, tambahkan umurnya”. Jawab Tuhan,”Tidak, kecuali jika dipotong dari umurmu”, sedang umur Adam seribu tahun, maka ditambahkan kepada Dawud empat puluh tahun, maka ditulis perjanjian itu dan disaksikan oleh malaikat. Kemudian ketika Adam didatangi malaikat yang akan mencabut ruhnya, ia berkata: ” umurku masih bersisa empat puluh tahun.” Kemudian diberitahu bahwa Adam telah memberikan umurnya kepada putranya Dawud. Jawab adam: ”Tidak.” maka Allah memperlihatkan kepadanya surat catatan perjanjian dan disaksikan oleh para malaikat. (HR. Ahmad)
\
Ayat ini berupa tuntunan Allah kepada hambaNya yang beriman jika mereka dalam mu’amalah utang piutang supaya ditulis, dengan kadar tertentu, waktu yang tertentu dan mudah dalam persaksiannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya keraguan di kemudian hari.
Lupa terhadap sesuatu merupakan hal yang wajar. Beruntunglah manusia (yang tercermin dalam kisah nabi Adam as) memiliki sifat lupa, karena apabila ia selalu mengingat detail yang ia lakukan, baik kesenangan maupun kesalahannya, maka besar kemungkinan manusia itu akan mengalami depresi akibat teringat selalu atas dosa yang dilakukannya. Daya ingatnya akan overload, termasuk apabila ia selalu ingat rasa sakit yang luar biasa yang pernah dialaminya.
Akuntansi merupakan catatan secara kronologis tentang kegiatan ekonomis dalam sebuah entitas (perusahaan) Dengan catatan inilah, manajemen perusahaan (yang terdiri dari manusia-manusia dengan sifat lupanya) mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap apa yang diamanahkan kepadanya. Dengan adanya catatan, manajemen tidak lupa dengan segala sesuatu yang terjadi di perusahaannya, kecuali memang ada kesengajaan untuk melupakan sesuatu untuk suatu kepentingan. Jika sengaja melupakan sesuatu, maka tentu saja akan ada permasalahan di kemudian hari. Wallahu’alam bissawab.
LUPANYA NABI ADAM AS
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita
Salah satu sifat dasar yang dimiliki manusia adalah sifat lupa. Hiperbolis sifat ini berupa kelalaian. Namun ada pula kondisi dimana ’lupa’ menjadi sesuatu yang memang disengaja. Terlepas dari dari disengaja atau tidak, sifat lupa umumnya menimbulkan permasalahan yang merugikan beberapa pihak yang terlibat. Mulai dari permasalahan pribadi hingga permasalahan besar yang dihadapi bangsa saat ini pada dasarnya diakibatkan sifat lupa.
Salah satu solusi yang ditawarkan Islam untuk mengatasi sifat ini adalah dengan membuat catatan. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al Baqarah 282 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengdiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengdiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.2:282.)
Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya mengatakan bahwa inilah ayat yang terpanjang dari semua ayat Al Qur’an. Ibnu Abbas ra. berkata: ” Ketika turun ayat yang mengenai utang piutang ini, tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya yang pertama ingkar janji adalah Adam as. Ketika Allah menciptakannya kemudian mengusap punggungnya dan keluar semua anak cucunya hingga hari qiyamat, dan ketika ia melihat satu persatu, terlihat padanya seorang pemuda yang tampan rupawan, lalu ia bertanya: ”Siapakah itu?” Dijawab: ”Putramu Dawud.” Ia bertanya:”Berapakah umurnya?” Dijawab: ”Enam puluh tahun.” Lalu ia berdoa: ”Ya, Allah, tambahkan umurnya”. Jawab Tuhan,”Tidak, kecuali jika dipotong dari umurmu”, sedang umur Adam seribu tahun, maka ditambahkan kepada Dawud empat puluh tahun, maka ditulis perjanjian itu dan disaksikan oleh malaikat. Kemudian ketika Adam didatangi malaikat yang akan mencabut ruhnya, ia berkata: ” umurku masih bersisa empat puluh tahun.” Kemudian diberitahu bahwa Adam telah memberikan umurnya kepada putranya Dawud. Jawab adam: ”Tidak.” maka Allah memperlihatkan kepadanya surat catatan perjanjian dan disaksikan oleh para malaikat. (HR. Ahmad)
\
Ayat ini berupa tuntunan Allah kepada hambaNya yang beriman jika mereka dalam mu’amalah utang piutang supaya ditulis, dengan kadar tertentu, waktu yang tertentu dan mudah dalam persaksiannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya keraguan di kemudian hari.
Lupa terhadap sesuatu merupakan hal yang wajar. Beruntunglah manusia (yang tercermin dalam kisah nabi Adam as) memiliki sifat lupa, karena apabila ia selalu mengingat detail yang ia lakukan, baik kesenangan maupun kesalahannya, maka besar kemungkinan manusia itu akan mengalami depresi akibat teringat selalu atas dosa yang dilakukannya. Daya ingatnya akan overload, termasuk apabila ia selalu ingat rasa sakit yang luar biasa yang pernah dialaminya.
Akuntansi merupakan catatan secara kronologis tentang kegiatan ekonomis dalam sebuah entitas (perusahaan) Dengan catatan inilah, manajemen perusahaan (yang terdiri dari manusia-manusia dengan sifat lupanya) mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap apa yang diamanahkan kepadanya. Dengan adanya catatan, manajemen tidak lupa dengan segala sesuatu yang terjadi di perusahaannya, kecuali memang ada kesengajaan untuk melupakan sesuatu untuk suatu kepentingan. Jika sengaja melupakan sesuatu, maka tentu saja akan ada permasalahan di kemudian hari. Wallahu’alam bissawab.
Subscribe to:
Posts (Atom)