Pakaian yang satu ini merupakan kebutuhan primer bagi seorang muslimah. Saya yakin setiap muslimah pasti memilikinya satu atau bahkan lebih.
Saya sendiri memiliki mukena sejak duduk di sekolah dasar. Mukena yang saya miliki terbuat dari bahan blacu, jahitan ibu saya sendiri. Dulu, susah mendapatkan mukena ukuran anak-anak yang dijual di pasaran. Saya tidak ingat berapa minggu sekali saya mencucinya,( atau mungkin juga sekali dalam setahun?). yang jelas penggunaannya hanya jika orang tua saya mengingatkan waktu sholat dan mengajak sholat berjamaah.
Memasuki usia SMP, saya mendapat mukena baru yang masih terlalu besar untuk dipakai. Kali ini, mukena tersebut cukup bertahan lama, hingga SMA pun masih saya gunakan. Bukan karena bahannya yang awet, tetapi memang karena jarang digunakan… astaghfirullah…meski penggunaannya lebih dari dua kali setahun.
Alhamdulillah, kondisi tersebut tidak berlangsung selamanya. Ketika hasil UMPTN diumumkan, orang tua saya serta merta membelikan mukena baru sekaligus travel bag untuk keberangkatan saya ke rantau seberang. Jauh dari orang tua menyadarkan saya akan ketiadaan tempat bergantung kecuali Allah SWT. Sholat lima waktupun tak pernah ketinggalan lagi, plus sholat sunnah lainnya.
Lima tahun (menyelesaikan S1) ditambah dua tahun (S2) jauh dari orang tua, tidak membuat jumlah mukena saya bertambah, hanya sekali berganti yang baru. Saat itu, saya pikir dengan satu mukena sudah cukup, toh kalau kotor bias dicuci, dijemur, dan dikeringkan.
Perubahan jumlah mukena yang saya miliki baru terjadi pada saat seorang laki-laki datang kepada orang tua saya dan meminta saya untuk dijadikan istri. Sejak saat itu, saya memiliki dua mukena yang saya pakai bergantian.
Status ibu rumah tanggapun yang berada di tengah masyarakat membuat saya merasa perlu menambah satu lagi mukena baru yang menurut saya harus bernilai lebih tinggi. Maksudnya, mukena tersebut hanya dipakai pada saat-saat khusus, hari raya misalnya, atau ketika ada tamu yang numpang sholat di rumah. Jumlahnya jadi tiga.
Satu per satu lahirlah buah hati amanah Allah, kebutuhan khadimatpun tak terelakkan. Kebetulan mereka yang pernah ikut dengan saya adalah orang-orang yang kesadaran atas kebutuhan sholat masih rendah. Keinginan mendakwahi merekapun muncul dengan mengajak, mengingatkan mereka untuk sholat di setiap waktunya, sekaligus meminjamkan mukena yang saya miliki.
Hari berganti hari, khadimat pun datang dan pergi silih berganti. Jumlah mukena pun berubah-ubah, karena di antara mereka ada yang sengaja memintanya, ada yang mengaku tertinggal di rumah saat mereka pulang mudik. It’s okay. Saya sering membeli mukena baru dengan harga berkisar 50 rb-150rb. Sampai pada saat mukena saya hanya berjumlah dua…. Datanglah khadimat baru tanpa membawa mukena. Seperti biasa, saya pun menaruh satu mukena saya di kamarnya. Kudu beli lagi nih…apalagi bulan depan sudah Ramadhan.
Di saat rencana pembelian akan menjadi pelaksanaan, seorang teman menawarkan berbagai mukena. Indah, menarik, cantik, dengan bordiran rapi di sana sini. Di saat pilah pilih, saya tanya harganya berapa. Tenggorokan saya nyaris tercekat menelan ludah, jutaan rupiah. Masya Allah, bukannya tidak sanggup bayar, hanya saja kalau saya bandingkan dengan mukena saya terdahulu, paling mahal seharga Rp 150 rb, (itu saja sudah tak tahu berada dimana), rasanya terlalu berat untuk mengenakannya. Saya jadi berpikir, bagaimana jika di saat saya memakainya, nilai kekhusyukan saya tidak sebanding jutaan rupiah itu……. Biarlah, untuk sementara saya meninggalkan bordiran indah itu. sampai saat nilai kekhusyukan saya benar-benar siap menandingi nilai rupiah itu …
Wallahu’alam
tempat belajar, bermain dan bercengkrama anak-anak bunda yang sholeh dan sholehah
Wednesday, December 1, 2010
Tuesday, November 30, 2010
fenomena akad murabahah di perbankan syariah
KETIKA AKAD TAK TERUCAP, MAKNA KIAN TAK TERUNGKAP
Oleh: Lisa Martiah NP, SE,MSi,Ak
“Pinjam aja ke Bank Syariah X, mumpung sekarang ada budget untuk itu”, “Enakan ke Bank Syariah Y, lebih sederhana prosedurnya….”, “Pinjam ke Bank Syariah atau konvensional gak jauh beda total pengembaliannya…” dan masih banyak lagi ungkapan sejenis yang dilontarkan masyarakat ketika membutuhkan dana untuk keperluan tertentu. Terlepas dari keperluan pembiayaan produktif ataupun konsumtif, ungkapan semacam itu tidak jelas makna ubudiyah (ibadah) yang seharusnya terkandung dalam setiap amal yang dilakukan seorang muslim.
Dalam rangka meningkatkan pemasaran produknya, baik perbankan konvensional maupun syariah tak sungkan mengadakan kerjasama dengan instansi lain untuk menyalurkan dana yang dimilikinya. Melalui koperasi yang ada pada instansi bersangkutan, pegawai dengan mudah dapat mengajukan permohonan pembiayaan, tanpa harus berhubungan langsung ke bank bersangkutan. Baru ketika permohonan disetujui bank, pegawai yang meminjam dating ke bank untuk menyelesaikan beberapa urusan administrasi lagi.
Prosedur yang dilalui pegawai dalam sebuah instansi melalui koperasi untuk mengajukan permohonan pembiayaan baik kepada bank konvensional maupun bank syariah relatif sama. Ditambah lagi dengan pengurus koperasi yang tidak memiliki wawasan tentang ekonomi syariah, membuat akad pembiayaan di bank syariah melalui koperasi tersebut tidak jelas. Ironisnya, pegawai yang membutuhkan pembiayaan pun tidak peduli makna syariah yang ia lakukan transaksi, yang penting ia memperoleh dana pada saat itu.
Bila dicermati lebih lanjut, mayoritas pegawai membutuhkan dana untuk keperluan konsumtif, membangun rumah, membeli kendaraan bermotor, menyekolahkan anak dan lain-lain. Islam tidak merekomendasikan adanya pinjaman konsumtif, Islam justru mendorong pembiayaan-pembiayaan produktif agar seseorang dapat beramal sholeh secara lebih progresif. Sebagai solusi pemenuhan kebutuhan konsumtif tersebut, Islam menyerukan untuk melakukan baiah (jual beli). Sebagaimana firman Allah SWT,” …Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”(QS.Al Baqoroh: 275)
Bentuk nyata pembiayaan konsumtif ini adalah produk murabahah. Produk yang ditawarkan perbankan syariah ini jelas berbeda dengan pembiayaan yang ditawarkan bank konvensional. Murabahah adalah akad jual beli antara pihak bank dan nasabah dengan margin (keuntungan) yang telah ditetapkan, sementara di bank konvensional produk ini berupa pinjaman yang harus dikembalikan dengan kelebihan di atas pokok pinjaman yang di dalam Islam adalah terlarang (tergolong riba).
Sayang seribu kali sayang, akad murabahah hampir tak pernah disebutkan dalam setiap pengajuan pembiayaan melalui koperasi pegawai. Minimnya pengetahuan pegawai (calon nasabah bank syariah) dan pengurus koperasi membuat akad murabahah ini tidak berbeda dengan pinjaman konsumtif yang ditawarkan bank konvensional. Si pegawai hanya mementingkan tersedianya dana untuk memenuhi kebutuhannya, sementara pengurus koperasi juga tidak ingin direpotkan dengan adanya tambahan prosedur yang harus dilaluinya.
Mensosialisasikan ekonomi syariah beserta instrumennya memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain menjadi agenda perbankan syariah itu sendiri, adalah tugas ulama dan akademisi penggiat ekonomi syariah untuk lebih memasyarakatkan instrumen pendukung perekonomian syariah itu sendiri. Tidak terbatas pada seminar-seminar berskala nasional dan internasional, di luar institusi pendidikan ekonomi syariah, dibutuhkan pula pelatihan-pelatihan terhadap ujung tombak pelaksanaannya. Tidak menutup kemungkinan, jika kajian-kajian di majelis taklim ibu-ibu di mesjid-mesjid atau perkantoran juga diselingi materi ekonomi syariah, karena itu semua adalah dalam rangka menegakkan Kalimatullah di muka bumi ini. Wallahu alam bissawab.
Bengkulu, 21 Juni 2010
Untuk FOSSEI
Oleh: Lisa Martiah NP, SE,MSi,Ak
“Pinjam aja ke Bank Syariah X, mumpung sekarang ada budget untuk itu”, “Enakan ke Bank Syariah Y, lebih sederhana prosedurnya….”, “Pinjam ke Bank Syariah atau konvensional gak jauh beda total pengembaliannya…” dan masih banyak lagi ungkapan sejenis yang dilontarkan masyarakat ketika membutuhkan dana untuk keperluan tertentu. Terlepas dari keperluan pembiayaan produktif ataupun konsumtif, ungkapan semacam itu tidak jelas makna ubudiyah (ibadah) yang seharusnya terkandung dalam setiap amal yang dilakukan seorang muslim.
Dalam rangka meningkatkan pemasaran produknya, baik perbankan konvensional maupun syariah tak sungkan mengadakan kerjasama dengan instansi lain untuk menyalurkan dana yang dimilikinya. Melalui koperasi yang ada pada instansi bersangkutan, pegawai dengan mudah dapat mengajukan permohonan pembiayaan, tanpa harus berhubungan langsung ke bank bersangkutan. Baru ketika permohonan disetujui bank, pegawai yang meminjam dating ke bank untuk menyelesaikan beberapa urusan administrasi lagi.
Prosedur yang dilalui pegawai dalam sebuah instansi melalui koperasi untuk mengajukan permohonan pembiayaan baik kepada bank konvensional maupun bank syariah relatif sama. Ditambah lagi dengan pengurus koperasi yang tidak memiliki wawasan tentang ekonomi syariah, membuat akad pembiayaan di bank syariah melalui koperasi tersebut tidak jelas. Ironisnya, pegawai yang membutuhkan pembiayaan pun tidak peduli makna syariah yang ia lakukan transaksi, yang penting ia memperoleh dana pada saat itu.
Bila dicermati lebih lanjut, mayoritas pegawai membutuhkan dana untuk keperluan konsumtif, membangun rumah, membeli kendaraan bermotor, menyekolahkan anak dan lain-lain. Islam tidak merekomendasikan adanya pinjaman konsumtif, Islam justru mendorong pembiayaan-pembiayaan produktif agar seseorang dapat beramal sholeh secara lebih progresif. Sebagai solusi pemenuhan kebutuhan konsumtif tersebut, Islam menyerukan untuk melakukan baiah (jual beli). Sebagaimana firman Allah SWT,” …Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”(QS.Al Baqoroh: 275)
Bentuk nyata pembiayaan konsumtif ini adalah produk murabahah. Produk yang ditawarkan perbankan syariah ini jelas berbeda dengan pembiayaan yang ditawarkan bank konvensional. Murabahah adalah akad jual beli antara pihak bank dan nasabah dengan margin (keuntungan) yang telah ditetapkan, sementara di bank konvensional produk ini berupa pinjaman yang harus dikembalikan dengan kelebihan di atas pokok pinjaman yang di dalam Islam adalah terlarang (tergolong riba).
Sayang seribu kali sayang, akad murabahah hampir tak pernah disebutkan dalam setiap pengajuan pembiayaan melalui koperasi pegawai. Minimnya pengetahuan pegawai (calon nasabah bank syariah) dan pengurus koperasi membuat akad murabahah ini tidak berbeda dengan pinjaman konsumtif yang ditawarkan bank konvensional. Si pegawai hanya mementingkan tersedianya dana untuk memenuhi kebutuhannya, sementara pengurus koperasi juga tidak ingin direpotkan dengan adanya tambahan prosedur yang harus dilaluinya.
Mensosialisasikan ekonomi syariah beserta instrumennya memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain menjadi agenda perbankan syariah itu sendiri, adalah tugas ulama dan akademisi penggiat ekonomi syariah untuk lebih memasyarakatkan instrumen pendukung perekonomian syariah itu sendiri. Tidak terbatas pada seminar-seminar berskala nasional dan internasional, di luar institusi pendidikan ekonomi syariah, dibutuhkan pula pelatihan-pelatihan terhadap ujung tombak pelaksanaannya. Tidak menutup kemungkinan, jika kajian-kajian di majelis taklim ibu-ibu di mesjid-mesjid atau perkantoran juga diselingi materi ekonomi syariah, karena itu semua adalah dalam rangka menegakkan Kalimatullah di muka bumi ini. Wallahu alam bissawab.
Bengkulu, 21 Juni 2010
Untuk FOSSEI
Monday, July 12, 2010
Hari Pertama Sekolah 12 Juli 2010
12 Juli 2010
Hari ini hari pertama sekolah anakku yang kedua Isnina Aida bahri. Wajahnya yang riang dengan senyum yang mengembang sudah terlukis di wajahnya sejak bangun tidur subuh tadi. Bersama abangnya Alif Sirajuddin Bahri, nina diantar ayahnya ke sekolah…. Ya Allah lindungilah mereka, berikannya mereka hidayah dan ilmu-Mu, mudahkanlah Ya Rabb, segala urusan mereka…
Aku teringat 30 tahun yang lalu, ketika pertama kali diantar ke SD Muhammadiyah 6 palembang oleh ayahku… setelah memilihkanku bangku kosong, ayahku berkata,” Nak, ayah ke kantor sebentar, dan nanti ayah akan jemput lagi…” aku mengangguk sambil menatap punggung ayahku menuju pintu meninggalkanku… berurai air mataku….
Hari pertama yang tidak aku lupakan…
Friday, July 2, 2010
Sunday, May 16, 2010
Thursday, May 6, 2010
LUPIS
KHAS INDONESIA.....LUPIS
Makanan ini terbuat dari beras ketan yang dibungkus dengan daun... ditaburi parutan kelapa dan gula merah yang sudah dicairkan....hmmm... yummy...
Makanan ini terbuat dari beras ketan yang dibungkus dengan daun... ditaburi parutan kelapa dan gula merah yang sudah dicairkan....hmmm... yummy...
Friday, March 26, 2010
CATATAN KECIL PERJALANAN UN-KU
Catatan kecil dalam perjalanan UN-ku
Beberapa hari terakhir ini aku harus berangkat pagi-pagi.
Melalui jalan raya antar kabupaten yang hanya beberapa km dari tempat tinggalku, aku harus lincah memegang stir untuk menghindari banyak lubang.
Pagi merupakan waktu tersibuk setiap orang untuk memulai aktivitasnya…
Ditempatkan di sekolah negeri yang tak jauh dari pusat kota, membuatku kembali tergugah…
Betapa tidak, mulai dari keluhan kepala sekolah belum turunnya dana anggaran UN padahal UN tetap harus terselenggara, fasilitas sekolah yang masih perlu ditambah, bla…bla..bla…
Hari kedua, ada seorang pengawas yang terlambat datang… alasannya, karena jatuh dari motor… menghindari lubang di jalan…tapi ia tetap menjalankan tugas…
Menjelang hari terakhir UN, nampak banyak siswa yang justru tanpa semangat.
Pertanyaan yang muncul di kepala mereka.. what should I do tomorrow?
Lulus UN tidak otomatis membuat mereka gembira…
Kondisi ekonomi orang tua membuat mereka tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Hampir 80% siswa berasal dari keluarga petani, nelayan, buruh…
Itu sudah cukup memberikan gambaran jawaban yang mereka terima
Hanya segelintir dari mereka yang siap mendobrak realita dan menanggung segala risiko untuk melanjutkan pendidikan.
Wow… klise memang… tapi itu realita…
Masih tak jauh dari pusat kota….
Bagaimana mereka yang ada di pelosok ya? Yang katanya harus mendaki bukit berbatu.. melepas sepatu bila hujan....
Ironis memang, ketika aku berhadapan dengan mahasiswa yang berpenampilan perlente.... laksana artis turun dari mobil mewah... tanpa buku, memanggul laptop... yang digunakan untuk ber-fb-ria menggunakan hotspot gratis... memberikan lembar jawaban kosong ketika ujian.... uuppss...
It’s a life, man....
Beberapa hari terakhir ini aku harus berangkat pagi-pagi.
Melalui jalan raya antar kabupaten yang hanya beberapa km dari tempat tinggalku, aku harus lincah memegang stir untuk menghindari banyak lubang.
Pagi merupakan waktu tersibuk setiap orang untuk memulai aktivitasnya…
Ditempatkan di sekolah negeri yang tak jauh dari pusat kota, membuatku kembali tergugah…
Betapa tidak, mulai dari keluhan kepala sekolah belum turunnya dana anggaran UN padahal UN tetap harus terselenggara, fasilitas sekolah yang masih perlu ditambah, bla…bla..bla…
Hari kedua, ada seorang pengawas yang terlambat datang… alasannya, karena jatuh dari motor… menghindari lubang di jalan…tapi ia tetap menjalankan tugas…
Menjelang hari terakhir UN, nampak banyak siswa yang justru tanpa semangat.
Pertanyaan yang muncul di kepala mereka.. what should I do tomorrow?
Lulus UN tidak otomatis membuat mereka gembira…
Kondisi ekonomi orang tua membuat mereka tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Hampir 80% siswa berasal dari keluarga petani, nelayan, buruh…
Itu sudah cukup memberikan gambaran jawaban yang mereka terima
Hanya segelintir dari mereka yang siap mendobrak realita dan menanggung segala risiko untuk melanjutkan pendidikan.
Wow… klise memang… tapi itu realita…
Masih tak jauh dari pusat kota….
Bagaimana mereka yang ada di pelosok ya? Yang katanya harus mendaki bukit berbatu.. melepas sepatu bila hujan....
Ironis memang, ketika aku berhadapan dengan mahasiswa yang berpenampilan perlente.... laksana artis turun dari mobil mewah... tanpa buku, memanggul laptop... yang digunakan untuk ber-fb-ria menggunakan hotspot gratis... memberikan lembar jawaban kosong ketika ujian.... uuppss...
It’s a life, man....
Wednesday, February 10, 2010
MEMPERKENALKAN EKONOMI SYARIAH LEBIH DINI
MEMPERKENALKAN EKONOMI SYARIAH LEBIH DINI
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita*
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita*
“Dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, akan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya”. Sepotong kalimat di atas yang lebih popular dikenal dengan prinsip ekonomi ini sangat melekat hampir pada setiap diri setiap orang. Mulai dari kalangan pejabat hingga penjahat, pengusaha sampai pengangguran, yang terpelajar atau tidak pernah menenyam pendidikan sekalipun. Entah dari mana sumber biasnya, yang jelas kalimat tersebut sudah terlanjur melekat pada masyarakat, meski kemudian pada sebagian orang terutama yang melanjutkan pendidikan tinggi di bidang ekonomi memperoleh revisinya menjadi “dengan pengorbanan tertentu, akan menghasilkan keuntungan seoptimal mungkin” atau “dengan pengorbanan sekecil-sekecilnya, akan menghasilkan keuntungan tertentu yang optimal.”
Kalimat hipotesis yang tak kalah popular lainnya adalah “semakin besar penghasilan yang diperoleh, semakin besar pula pengeluaran yang terjadi”. Kalimat yang mengandung perbandingan secara linier ini kemudian ditelan mentah-mentah oleh kebanyakan orang, tanpa menghiraukan faktor penyebab dan akibat yang ditimbulkannya jika tidak dibarengi dengan batasan-batasan (baca: norma/nilai agama).
Dua kalimat yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi baik secara individu maupun masyarakat ini seolah mendarah daging dan menjadi pola pikir masyarakat umum khususnya muslim saat ini. Bila tidak diluruskan, pemahaman seperti ini akan menimbulkan dampak negatif baik dalam pola konsumsi maupun pola produksi seseorang. Tanpa menghiraukan norma-norma yang ada di masyarakat ataupun batasan syariah, seorang muslim akan terdorong untuk memenuhi kebutuhannya semaksimal mungkin dengan pengorbanan sekecil mungkin atau tanpa pengorbanan sedikitpun. Atau sebaliknya, ketika penghasilan seseorang meningkat, pola konsumsi untuk memaksimalkan kepuasan syahwatnya pun mengalami peningkatan selama kemampuan finansialnya memungkinkan bahkan cenderung ke arah berlebih-lebihan (pemborosan).
Pola konsumtif masyarakat ini tercermin pada meningkatnya pertumbuhan pasar-pasar modern yang semakin menggeser kedudukan pasar tradisional. Orang-orang cenderung lebih memilih kepada sebuah gengsi daripada kepada manfaat yang dibutuhkannya. Contoh misalnya seseorang mau membeli mie instant. Ia lebih suka beli di mall daripada di pedagang pinggiran (warung). Dari sisi produksi, masyarakat mencoba mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan peluang yang ada dan dengan sedikit berkorban (baca: kerja), dengan harapan dapat meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari apa yang diinginkannya. Korupsi merajalela dan menjadi budaya, etika dalam berbisnis diabaikan, saling memanipulasi, saling menjatuhkan, dan masih banyak lagi kasus-kasus yang terjadi. Ironisnya, fenomena yang bermuara pada ketimpangan ekonomi ini terjadi pada sebagian besar masyarakat kita yang notabene adalah beragama Islam.
Memang banyak faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi pola konsumsi dan produksi, mulai dari kebudayaan, sosial, peran dan status sosial, personal dan psikologis (Kotler, 2000). Hanya saja kesemua kegiatan yang pada dasarnya adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, sebenarnya bermula dari dorongan hawa nafsu yang berbentuk kesadaran atas nilai uang, yang sebenarnya di dalam Islam ada batasan-batasan yang tetap harus dijaga dan ditaati.
Fenomena tersebut kemudian dikemas dalam teori-teori ekonomi konvensional yang kita kenal selama ini. Dimulai dari pendidikan dasar hingga menengah, teori tersebut dikemas dan diperkenalkan dalam paket kurikulum pendidikan ekonomi, tanpa sentuhan nilai-nilai Islam sedikitpun. Dan kesemua itu tertanam secara mendalam dan membentuk pola perilaku konsumsi dan produksi. Padahal Islam sendiri mengatur segala segi kehidupan seorang muslim termasuk di dalamnya mengenai kehidupan perekonomian yang meliputi perilaku konsumsi, yang sangat terkait dengan zakat, dan perilaku produksi (etika bisnis, etos kerja), di antaranya:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2:168). “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS.62:10).
“yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan.” (Hadits)
Selain itu, batasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah aspek kemashlahatan, yakni mengutamakan kebaikan dan menjauhi kerusakan.
Sayangnya, batasan-batasan yang ditentukan oleh Al Qur’an dan Hadits tersebut kurang diperkenalkan kepada masyarakat baik secara informal apalagi formal. Sebuah riset yang dilakukan di 100 Taman Pendidikan Alqur’an (TPA) di Jakarta menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% TPA yang memperkenalkan zakat kepada santrinya, selebihnya hanya memberikan materi tentang cara membaca Al Qur’an, shalat dan puasa. Perkenalan secara formal pun belum terealisasi dengan baik. Pembahasan mengenai teori-teori ekonomi dalam kurikulum pendidikan selama ini belum menyentuh aspek Islami yang seharusnya diberikan pada anak didik muslim. Kurikulum yang diterapkan selama ini secara sekuler membahas teori ekonomi dan dalil-dalil agama dalam dua mata pelajaran yang berbeda. Bahkan lebih jauh lagi, Pendidikan moral dan agama belum menyentuh aspek perilaku ekonomi seorang muslim.
Selama ini, kurikulum yang ada menciptakan sosok muslim yang konsumtif dan produktif, yang jauh dari nilai-nilai Islami. Jika kondisi tersebut diubah dengan memasukkan pendekatan Syariah ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, peluang untuk menciptakan sosok muslim yang memiliki pola konsumsi dan produksi yang Islami di masa yang akan datang semakin terbuka lebar.
Sebagaimana yang dilakukan pihak kepolisian, dalam rangka memperkecil tingkat pelanggaran rambu-rambu lalulintas, yang berakibat terjadinya lakalantas, berbagai upaya dilakukan termasuk memperkenalkan rambu-rambu lalulintas kepada anak-anak sejak dini. Hal ini dirasakan lebih efektif ketimbang dilakukan pada orang-orang dewasa, meskipun dampaknya belum dapat dirasakan saat ini.
Pengenalan terhadap ekonomi syariah lebih dini merupakan salah satu bentuk upaya untuk memperbaiki ketimpangan perekonomian yang dirasakan saat ini. Tidak hanya produk perbankan syariah yang dimasukkan dalam kurikulum mata pelajaran ekonomi seperti yang ada selama ini, tetapi esensi ekonomi syariah yang menjadi rambu-rambu pola konsumsi, produksi bahkan distribusi seorang atau masyarakat muslim pun dapat dikemas dalam kurikulum tersendiri.
. Jika pendidik muslim memiliki semangat tinggi untuk memperkenalkan ekonomi syariah banyak cara yang dapat ditempuh. Sebagai langkah awal, materi ekonomi Syariah bisa saja dikemas secara berdampingan dengan materi dalam kurikulum yang sudah ada selama ini. Lebih lanjut, upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan memasukkannya ke dalam kurikulum muatan lokal, sebelum nantinya diharapkan bisa menjadi kurikulum nasional.
Dengan demikian, diharapkan paradigma syariah akan tertanam dalam pola pikir masyarakat muslim sejak ia mempersiapkan diri di bangku sekolah. Nantinya, diharapkan masa mendatang masyarakat muslim dapat lebih bisa menjaga norma-norma Islami dalam perilaku konsumsi dan produksinya dalam rangka memperkuat basis ekonomi. Wallahu ‘alam bissawab.
* DOSEN JURUSAN AKUNTANSI FE UNIB
TINGGAL DI JL UNIB PERMAI II C NO 100
PEMATANG GUBERNUR BENGKULU,
TLP. 0736-7310611
Tuesday, February 9, 2010
Wednesday, February 3, 2010
Sunday, January 31, 2010
Friday, January 22, 2010
RESUME BUKU "PETUNJUK JALAN" SAYYID QUTHB
Judul buku: PETUNJUK JALAN
Penulis: Sayyid Quthb
Penerbit: Gema Insani, cetakan ketiga 2006 (200 hal)
Sekilas buku ini tidak berbeda dengan buku reliji lainnya yang terdiri dari bahasan-bahasan ayat Al Qur’an dan Hadits. Namun ketika dibaca halaman demi halaman, ternyata isinya membuka pemikiran pembacanya pada suatu pemikiran revolusioner. Sesuai judul yang dikemukakan, buku ini menuntun pembaca untuk melakukan revolusi total dimulai secara individu, masyarakat, hingga negara sesuai petunjuk ke jalan tersebut yang tidak lain adalah Al Qur’an.
Dilatarbelakangi fenomena kegagalan kepemimpinan dan kegagalan sistem yang diterapkan dalam setiap bidang, penulis mengajukan pemikiran perlunya kepemimpinan (baca: Islam) yang mampu mempertahankan dan mengembangkan peradaban materiil. Kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang berbeda dengan isme-isme yang pernah ada di muka bumi dan dinyatakan gagal. Perbedaan yang nyata dari semuanya itu adalah terletak pada ”akidah” dan ”manhaj”. Tidak sekedar konsep, melainkan pula harus diwujudkan secara nyata dalam setiap sisi kehidupan sehingga tercipta kebangkitan Islam. Untuk itu, dibutuhkan adanya pionir-pionir. Buku ini diharapkan menjadi pegangan (petunjuk jalan) bagi pionir tersebut dalam mencapai kebangkitan Islam.
Bagian kedua buku ini memberikan referensi (gambaran) bagi pionir tentang generasi terbaik yang pernah ada guna memotivasi diri untuk mencapai tujuannya. Generasi tersebut merupakan generasi Qur’ani yang istimewa yang tidak lain adalah generasi para sahabat. Alasan mereka dikatakan sebagai generasi terbaik bukanlah karena pada saat itu Rasulullah SAW ada di tengah mereka, melainkan karena 3 hal, yaitu:
mereka menjadikan Al Qur’an sebagai satu-satunya sumber rujukan
para sahabat mempelajari Al Qur’an untuk menerima perintah, bukan karena rasa ingin tahu, sekedar membaca, merasakan dan menikmatinya saja.
ketika mendengar ayat-ayat Al Qur’an, mereka memutuskan seluruh kejahiliyahan masa lalu.
Secara totalitas mereka menerima manhaj yang dibawa dalam Islam. Adalah suatu keharusan bagi orang-orang yang ingin mewujudkan kebangkitan Islam untuk mengetahui sifat/karakterikstik manhaj yang dimaksud.
Penulis kemudian menjelaskannya pada bab kedua, yakni Karakteristik Manhaj Al Qur’an dalam Dakwah.
Adapun karakter yang pertama adalah bahwa manhaj ini mengusung kalimat Laa ilaaha illallaah yang tertanam dalam sanubari (al uluuhiyyah), tidak hanya nampak secara fisik, karena kalau saja mengedepankan jasad, maka efek sosial yang terjadi adalah munculnya thaghut-thaghut baru dalam peradaban dunia yang bertentangan dengan al ’ubuudiyyah. Karakter kedua adalah pergerakan yang progresif. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, bukan sekedar konsep atau teori semata yang dibutuhkan, melainkan diperlukan suatu aksi nyata untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam kehidupan.
Pada bagian ketiga buku ini dijelaskan mengenai tumbuhnya masyarakat muslim berikut karakternya. Penyimpangan dari Kehendak Allah terjadi secara global di setiap sisi kehidupan manusia, tidak lagi dalam tataran individu, tetapi sudah dalam tataran masyarakat. Gerakan sosial yang ada di masyarakat saat ini merupakan gerakan jahil yang di dalamnya juga terdapat individu-individu yang shalih. Mereka dikatakan minoritas yang dibatasi oleh sistem-sistem jahil yang berbeda dengan sistem yang Allah tetapkan. Kejahiliyahan yang ada tidak dalam bentuk teori semata, melainkan terwujud dalam sebuah gerakan. Untuk melenyapkan gerakan sosial yang jahil itu dan menggantikannya dengan yang haq, maka dibutuhkan adanya gerakan sosial yang lebih kuat, tidak sekedar konsep semata. Gerakan sosial yang haq tersebut harus dihadirkan secara sempurna, nyata dan sesungguhnya hingga dapat dengan mudah menjadi tolok ukur pemilahan antara muslim dan nonmuslim, tidak sekedar ’teoretis’. Individu muslim yang teoretis dalam sistem yang jahiliyyah akan tetap terdesak dan tertuntut untuk berbaur dalam sistem tersebut. Masyarakat muslim yang diharapkan terwujud memiliki karakteristik inklusif bukan eksklusif seperti yang pernah ada dalam setiap peradaban. Masyarakat yang tidak membeda-bedakan manusia secara kebangsaan, nasionalisme, warna kulit, maupun bahasanya (yang dianggap sebagai sifat hewan ini).
Untuk membentuk masyarakat muslim, dibutuhkan gerakan sosial yang kuat dalam bentuk jihad fi sabilillah yang dibahas dalam bagian berikutnya dalam buku ini. Jihad fi sabilillah yang didefinisikan sebagai peperangan defensif oleh kebanyakan orang selama ini tidaklah benar sepenuhnya, apalagi untuk jaman sekarang ini. Bercermin dari sirah, maka perjuangan Rasulullah dalam menegakkan kalimat Allah dilakukan melalui beberapa tahap, yang diawali dengan bertahan, bersabar, lalu memaafkan. Tahap berikutnya barulah berhijrah dan berperang (jihad). Kondisi orang-orang kafir sebelum diturunkannya perintah berjihad (surat Al Bara’ah) terbagi dalam tiga golongan: orang-orang yang terlibat dalam perjanjian damai (ahlul-ahdi wa ash shulhi), orang-orang yang diperangi (ahlul harb), dan orang-orang yang dilindungi (ahludz-dzimmah). Pada kondisi ini, beliau selalu was-was jika perjanjian tersebut dibatalkan, setelah nyata dibatalkan, barulah beliau memerangi. Setelah turunnya surat Al Bara’ah, Rasulullah diperintahkan untuk memerangi. Kelompok pertama juga terbagi menjadi tiga golongan: orang yang membatalkan perjanjian, memberontak dan memerangi, Rasulullah diperintahkan untuk memeranginya, orang yang memiliki perjanjian dan menepatinya serta tidak berkeinginan untuk memerangi, Rasulullah diperintahkan untuk menyelesaikan perjanjian sampai waktunya, dan orang-orang yang tidak mengadakan perjanjian, tetapi tidak mengusik dakwah dan menginginkan perdamaian mutlak terus-menerus, untuk kelompok ini Rasulullah diperintahkan untuk menolerir mereka sampai empat bulan, dan jika tidak mau masuk Islam, maka beliau akan memerangi. Ketiga strategi tersebut menyebabkan mereka berbondong-bondong masuk Islam, dan enggan berlama-lama dalam kekafiran. Sementara bagi kafir yang dilindungi, dikenakan jizyah. Perintah ini ada dalam surat At Taubah. Setelah itu, maka manusia yang ada di dunia ini ada tiga macam, yaitu: orang muslim yang mukmin, orang yang memerangi Islam dan selalu dalam keadaan takut, dan orang yang tunduk dan berdamai dengan Islam. Sementara terhadap orang-orang munafik, Rasulullah diperintahkan untuk menerima kepura-puraan mereka dengan baik dan menyerahkan kepada Allah segala hal yang mereka sembunyikan.
Demikian fase-fase jihad pada jaman Rasulullah. Fase-fase yang dilalui tersebut memiliki karakter: realistis (tidak hanya persuasif (dakwah), tetapi juga menggunakan fisik (jihad), progresif (berkesinambungan dan setiap fase perkembangannya ada perangkat pendukung tertentu bagi kondisi dan kebutuhan reallistisnya), terpola dan memiliki tujuan yang jelas(pengahambaan kepada Allah secara ikhlas), serta pro perdamaian dan sesuai dengan aturan legal. Jihad tidak identik dengan peperangan defensif, melainkan usaha atau gerakan pembebasan manusia di muka bumi dari penghambaan manusia atas manusia lainnya yang salah satu bentuknya adalah penghambaan terhadap hawa nafsu. Dapat pula dikatakan bahwa jihad ditujukan untuk mencabut segala kekuasaan Allah yang dicuri dan mengembalikannya kapada Allah, meruntuhkan kerajaan manusia dan mendirikan kerajaan Allah di muka bumi yang berarti bukan menyerahkan kepemimpinan kepada agamawan seperti kekuasaan gereja yang pernah ada, atau melegitimasi bagi orang-orang yang mengatasnamakan tuhan untuk memegang kendali kekuasaan. Yang dimaksud mendirikan kerajaan Allah adalah menjadikan kedaulatan bagi syariat Allah semata.
Usaha ini dilakukan tidak cukup melalui penjelasan semata ( al Bayaan) yang berhadapan dengan keyakinan (ideologi) dan pandangan (konsepsi) hidup, melainkan diperlukan pula pergerakan (al harakah) yang menghadapi rintangan materiil, terutama kekuasaan politik. Penulis berpendapat bahwa untuk tujuan tersebut, maka kedua hal itu (penjelasan dan pergerakan) harus dilakukan sekaligus.
Pada bagian terakhir bab ini dijelaskan mengenai pengertian jihad yang terpaksanya sebagai peperangan defensif (mempertahankan diri). Justru dengan definisi ini, kita dapat menemukan hakikat motif jihad di dalam Islam. Disebutkan pada bagian lain bab ini bahwa peperangan ditujukan untuk menjaga eksistensi manusia dan mengeliminir kerusakan bumi.
Kemudian dijelaskan pula mengenai hikmah perintah jihad pada setiap fasenya, misal ketika di mekah diperintahkan bersabar. Hal ini berguna untuk melatih diri kaum muslim yang merupakan bangsa arab yang terkenal dengan ketidaksabarannya, sementara pada fase di madinah, diketahui bahwa masih terdapat keleluasaan untuk melakukan dakwah lisan yang tidak ada satupun kekuasaan politik yang menghalangi. Di Madinah pula Rasulullah berkonsentrasi pada kaum Quraisy yang menjadi penghalang bagi kabilah lain yang ingin memeluk Islam. Fase-fase ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pengertian jihad sebagai peperangan defensif sungguh tidak tepat.
Sesungguhnya landasan jihad islami adalah mengeluarkan orang-orang yang Ia kehendaki dari penghambaan hamba kepada penghambaan kepada Allah semata.
Bagian berikutnya pada buku ini adalah penjelasan mengenai penghambaan kepada Allah, yakni Laa Ilaaha Illallaah Sebuah Pedoman Hidup. Pada bagian ini dijelaskan bahwa kehidupan manusia (umat islam) haruslah berlandaskan kalimat syahadat, dengan kata lain kehidupan tidak disebut sebagai kehidupan islami jika tidak berlandaskan kalimat ini. Beberapa kelompok masyarakat yang ada di bumi ini dijelaskan pada bagian ini, yaitu: masyarakat muslim dan masyarakat jahiliyyah yakni: masyarakat yang tidak mengikhlaskan penghambaannya kepada Allah semata, yang nampak pada keyakinan, pandangan hidup, ritual peribadatan dan syariaat perundang-undangan mereka. Masyarakat jahiliyyah ini terdiri dari, komunis, penyembah berhala,yahudi, kristen, dan masyarakat yang menyatakan dirinya ’masyarakat islam’ itu sendiri. Kelompok yang terakhir ini digolongkan jahil bukan karena menuhankan seseorang, bukan pula melakukan upacara agama untuk seseorang selain Allah, melainkan mereka tidak merealisasikan penghambaan kepada Allah semata dalam sistem kehidupannya. Sebagian mereka mengaku sekuler.
Kelompok masyarakat selain masyarakat Islami menerapkan hukum-hukum yang bukan bersumber dari Allah semata. Akibatnya, tidak jarang terjadi benturan-benturan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Alam dengan segala wujudnya memerlukan suatu aturan yang bersifat universal yang mengatur hubungan antara satu eksistensi dengan yang lainnya, mengatur semua gerakannya, agar tidak berbenturan, tidak rusak, hingga pada suatu masa yang telah dikehendaki Allah. Bab berikutnya di dalam buku ini dibahas mengenai Syariat Universal. Aturan yang diciptakan manusia mungkin saja membuat nyaman diri mereka secara temporer, tetapi aturan tersebut ternyata tidak mampu membuat keserasian total antara kehidupan manusia dan gerak alam semesta, bahakan antara fitrah mereka yang tersembunyi dengan kehidupan yang nyata. Yang mampu membuat aturan yang dapat menciptakan keserasian secara total adalah Pencipta Alam Semesta dan Pencipta manusia itu sendiri, yakni Allah. Saat merealisasikan keseimbangan yang mutlak antara kehidupan manusia dan hukum alam semsta akan terlahir segala kebaikan untuk manusia dan kerusakan dapat dihindari. Manusia sesungguhnya mengakui fitrah dari wujud kejadiannya dan wujud alam yang ada di sekelilingnya, namun saat pengaruh nafsu mulai menguasai jiwanya, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan. Hal ini menimbulkan perselisihan antar kelompok, bahkan antar bangsa dan generasi yang mengakibatkan potensi alam berubah menjadi alat kehancuran dan sumber kesengsaraan. Dengan demikian, hukum yang sesungguhnya dibutuhkan dalam jalinan keterkaitan antara manusia dengan alam adalah syariat Allah yang secara total merupakan hukum yang universal.
Islam Sebuah Peradaban. Peradaban dibangun dan dibentuk oleh kehidupan manusia. Namun peradaban yang ada saat ini diwujudkan oleh manusia-manusia yang menjadi tuhan-tuhan pencipta peraturan dan sebagian manusia lainnya menjadi budak yang mematuhi peraturan. Peradaban seperti ini membuat kemerdekaan dan martabat manusia itu sendiri sesungguhnya sama sekali hilang.
Peradaban sesungguhnya adalah apabila kekuasaan tertinggi dalam suatu masyarakat kembali kepada Allah semata yang tercermin dalam ketinggian martabat manusia itu sendiri. Ketinggian martabat manusia berarti membebaskan manusia dengan sempurna dan dengan sesungguhnya dari penghambaan manusia. Nilai tertinggi dalam suatu masyarakat bisa berupa kemanusiaan berikut ciri-ciri khasnya dan bisa pula berupa materi/benda. Namun bila nilai tertinggi tersebut berupa materi, apapun bentuknya, berikut produksi materi itu sendiri, maka masyarakat itu adalah masyarakat jahil. Terbentuknya masyarakat yang berperadaban tidak terjadi dengan sendirinya. Masyarakat yang memiliki martabat yang tinggi tidak berarti semua pada posisi yang sama sehingga tidak ada atasan dan bawahan, melainkan masyarakat yang menempatkan individu sesuai dengan kemampuannya dan sesuai nilai yang ada di dalamnya sehingga ia mampu menentukan bagi setiap individu tersebut tugas dan posisi masing-masing. Karena nilai yang dibawa oleh setiap individu adalah sama, maka meskipun posisi dan tugas mereka berbeda satu sama lain, tidak akan terjadi pergesekan. Yang terjadi adalah justru keharmonisan dan keteraturan tugas yang merupakan karakteristik dari peradaban islam itu sendiri.
Pandangan Islam dan Kebudayaan. Kegiatan seni secara umum diartikan sebagai ekspresi kemanusiaan mengenai gambaran-gambaran manusia, pengalaman dan jawaban-jawabannya, juga tentang gambaran eksistensi dan kehidupan di dalam jiwa manusia. Hal ini tentu saja bagi seorang muslim harus dihukumi dan ditumbuhkembangkan dengan pandangan islami. Islam memandang bahwasanya ada dua macam kebudayaan: kebudayaan islam yang terdiri atas kaidah-kaidah pandangan islam dan kebudayaan jahili yang terdiri atas beragam paradigma yang kembali pada satu kaidah, yaitu kaidah yang didasarkan pada pembentukan pola pikir ketuhanan yang tidak merujuk pada Allah di dalam pertimbangan-pertimbangannya.
Kewarganegaraan Seorang Muslim adalah Akidahnya. Bumi diciptakan Allah untuk tempat tinggal manusia. Di sebagian wilayah yang ada di bumi dikatakan sebagai wilayah damai (daarul Islam) sementara di sebagian yang lain dinamakan daarul harb (wilayah perang). Di daarul Islam terdapat negara yang muslim, dilindungi oleh syariat Allah dan disana ditegakkan hukum Allah, muslim disana saling tolong-menolong. Sementara di daarul harb, mungkin saja di sana ada muslim, tetapi di sana tidak akan ditemukan adanya loyalitas/ikatan antara sesama muslim yang berdasarkan ikatan iman. Kewarganegaraan seorang muslim hanyalah akidah kepercayaannya yang menjadikannya anggota dari umat yang muslim di daarul Islam. Wilayah dimana Islam tidak ditegakkan serta syariat Islam tidak diberlakukan adalah daarul harb bagi seorang Islam dan juga bagi seorang dzimmi yang melakukan perjanjian dengan umat muslim. Wilayah itu harus diperangi oleh seorang muslim meskipun disana tempat kelahirannya, tempat tinggal sanak keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan dalam islam tidak sekedar ikatan kekeluargaan, bukan hubungan kesukuan ataupun marga. Islam membebaskan manusia dari semua ikatan tersebut agar bebas menuju ke langit.
Perubahan Revolusioner. Keberadaan Islam di tengah-tengah kehidupan jahiliyah bukan untuk menyelaraskan diri dengan pandangan-pandangan jahiliyah tersebut, melainkan mengentaskan manusia dari kejahiliyahan itu sendiri. Tugas utama Islam adalah membangun satu kehidupan manusiawi yang selaras dengan karakteristik Islami dengan cara menggantikan pandangan dan kebiasaan jahiliyah dengan pandangan dan kebiasaan Islam.
Kepercayaan Diri yang Bersumber dari Iman. ”Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS.3:139) merupakan ayat yang melukiskan keadaan abadi yang harus menjadi perasaan bagi seorang mukmin, menjadi cara pandang dan menjadi ukurannya dalam menilai suatu peristiwa. Suatu keadaan yang tertinggi yang harus mendasar dalam kalbu seorang mukmin dalam menghadapi apapun, suatu perasaan bangga yang disyukuri. Perasaan bangga ini bukan didasarkan pada motif individual, tidak didorong oleh kesombongan dan semangat yang meluap-luap, melainkan didasarkan atas kebenaran iman yang mantap. Seorang mukmin tidak akan mendasarkan nilai, konsepsi, dan neracanya kepada manusia, hingga mendapat penghargaan yang tinggi dari manusia ia justru akan mendasarkan semuanya itu kepada Allah semata.
Inilah Jalan Itu. Kisah Ash-habul Ukhudud memaparkan konsepsi karakteristik dakwah Islamiyah, peranan manusia dalam dakwah dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di dalamnya. Karakteristik yang pertama, jalan dakwah bukanlah jalan yang lancar dan mulus, melainkan sebuah jalan yang penuh duri, hambatan dan cobaan, yang semakin menjadi, hambatan tersebut berasal dari pihak-pihak yang membenci Islam. Karakter kedua, pelaku dakwah, dengan rintangan yang menghalang tersbut, tidak menjadi kendor semangatnya, justru sebaliknya, iman mereka semakin bertambah. Hal ini disebabkan keyakinan yang kuat akan balasan kenikamatan syurga Allah yang akan mereka terima nanti. Karakter ketiga, umumnya pelaku dakwah akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang bersifat duniawi sebagai taruhan keimanan mereka, namun tentu saja pelaku dakwah akan memilih kemuliaan di sisi Allah. Karakter keempat, akhir dari perjalanan dakwah bisa menyerupai persis peristiwa ash-habul uhkdud (kemusnahan mukmin dan kegembiraan orang kafir), namun bisa juga sebaliknya. Hal ini dikatakan bahwa pelaku dakwah tidak akan dimintai pertangunggjawaban apapun mngenai hal ini. Poin utama yang dipertanyakan adalah permasalahan akidah mereka di hadapan Allah. Tugas mereka adalah menunaikan kewajiban yang menjadikan Allah sebagi satu-satunya tuhan, mengutamakan akidah daripada kehidupan duniawi, penuh percaya diri dengan iman yang dimiliki, menyandarkan diri hanya pada Allah atas seluruh amal dan niatnya. Itu semua tidak lain adalah jalan menuju keridhaan Allah.
Penulis: Sayyid Quthb
Penerbit: Gema Insani, cetakan ketiga 2006 (200 hal)
Sekilas buku ini tidak berbeda dengan buku reliji lainnya yang terdiri dari bahasan-bahasan ayat Al Qur’an dan Hadits. Namun ketika dibaca halaman demi halaman, ternyata isinya membuka pemikiran pembacanya pada suatu pemikiran revolusioner. Sesuai judul yang dikemukakan, buku ini menuntun pembaca untuk melakukan revolusi total dimulai secara individu, masyarakat, hingga negara sesuai petunjuk ke jalan tersebut yang tidak lain adalah Al Qur’an.
Dilatarbelakangi fenomena kegagalan kepemimpinan dan kegagalan sistem yang diterapkan dalam setiap bidang, penulis mengajukan pemikiran perlunya kepemimpinan (baca: Islam) yang mampu mempertahankan dan mengembangkan peradaban materiil. Kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang berbeda dengan isme-isme yang pernah ada di muka bumi dan dinyatakan gagal. Perbedaan yang nyata dari semuanya itu adalah terletak pada ”akidah” dan ”manhaj”. Tidak sekedar konsep, melainkan pula harus diwujudkan secara nyata dalam setiap sisi kehidupan sehingga tercipta kebangkitan Islam. Untuk itu, dibutuhkan adanya pionir-pionir. Buku ini diharapkan menjadi pegangan (petunjuk jalan) bagi pionir tersebut dalam mencapai kebangkitan Islam.
Bagian kedua buku ini memberikan referensi (gambaran) bagi pionir tentang generasi terbaik yang pernah ada guna memotivasi diri untuk mencapai tujuannya. Generasi tersebut merupakan generasi Qur’ani yang istimewa yang tidak lain adalah generasi para sahabat. Alasan mereka dikatakan sebagai generasi terbaik bukanlah karena pada saat itu Rasulullah SAW ada di tengah mereka, melainkan karena 3 hal, yaitu:
mereka menjadikan Al Qur’an sebagai satu-satunya sumber rujukan
para sahabat mempelajari Al Qur’an untuk menerima perintah, bukan karena rasa ingin tahu, sekedar membaca, merasakan dan menikmatinya saja.
ketika mendengar ayat-ayat Al Qur’an, mereka memutuskan seluruh kejahiliyahan masa lalu.
Secara totalitas mereka menerima manhaj yang dibawa dalam Islam. Adalah suatu keharusan bagi orang-orang yang ingin mewujudkan kebangkitan Islam untuk mengetahui sifat/karakterikstik manhaj yang dimaksud.
Penulis kemudian menjelaskannya pada bab kedua, yakni Karakteristik Manhaj Al Qur’an dalam Dakwah.
Adapun karakter yang pertama adalah bahwa manhaj ini mengusung kalimat Laa ilaaha illallaah yang tertanam dalam sanubari (al uluuhiyyah), tidak hanya nampak secara fisik, karena kalau saja mengedepankan jasad, maka efek sosial yang terjadi adalah munculnya thaghut-thaghut baru dalam peradaban dunia yang bertentangan dengan al ’ubuudiyyah. Karakter kedua adalah pergerakan yang progresif. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, bukan sekedar konsep atau teori semata yang dibutuhkan, melainkan diperlukan suatu aksi nyata untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam kehidupan.
Pada bagian ketiga buku ini dijelaskan mengenai tumbuhnya masyarakat muslim berikut karakternya. Penyimpangan dari Kehendak Allah terjadi secara global di setiap sisi kehidupan manusia, tidak lagi dalam tataran individu, tetapi sudah dalam tataran masyarakat. Gerakan sosial yang ada di masyarakat saat ini merupakan gerakan jahil yang di dalamnya juga terdapat individu-individu yang shalih. Mereka dikatakan minoritas yang dibatasi oleh sistem-sistem jahil yang berbeda dengan sistem yang Allah tetapkan. Kejahiliyahan yang ada tidak dalam bentuk teori semata, melainkan terwujud dalam sebuah gerakan. Untuk melenyapkan gerakan sosial yang jahil itu dan menggantikannya dengan yang haq, maka dibutuhkan adanya gerakan sosial yang lebih kuat, tidak sekedar konsep semata. Gerakan sosial yang haq tersebut harus dihadirkan secara sempurna, nyata dan sesungguhnya hingga dapat dengan mudah menjadi tolok ukur pemilahan antara muslim dan nonmuslim, tidak sekedar ’teoretis’. Individu muslim yang teoretis dalam sistem yang jahiliyyah akan tetap terdesak dan tertuntut untuk berbaur dalam sistem tersebut. Masyarakat muslim yang diharapkan terwujud memiliki karakteristik inklusif bukan eksklusif seperti yang pernah ada dalam setiap peradaban. Masyarakat yang tidak membeda-bedakan manusia secara kebangsaan, nasionalisme, warna kulit, maupun bahasanya (yang dianggap sebagai sifat hewan ini).
Untuk membentuk masyarakat muslim, dibutuhkan gerakan sosial yang kuat dalam bentuk jihad fi sabilillah yang dibahas dalam bagian berikutnya dalam buku ini. Jihad fi sabilillah yang didefinisikan sebagai peperangan defensif oleh kebanyakan orang selama ini tidaklah benar sepenuhnya, apalagi untuk jaman sekarang ini. Bercermin dari sirah, maka perjuangan Rasulullah dalam menegakkan kalimat Allah dilakukan melalui beberapa tahap, yang diawali dengan bertahan, bersabar, lalu memaafkan. Tahap berikutnya barulah berhijrah dan berperang (jihad). Kondisi orang-orang kafir sebelum diturunkannya perintah berjihad (surat Al Bara’ah) terbagi dalam tiga golongan: orang-orang yang terlibat dalam perjanjian damai (ahlul-ahdi wa ash shulhi), orang-orang yang diperangi (ahlul harb), dan orang-orang yang dilindungi (ahludz-dzimmah). Pada kondisi ini, beliau selalu was-was jika perjanjian tersebut dibatalkan, setelah nyata dibatalkan, barulah beliau memerangi. Setelah turunnya surat Al Bara’ah, Rasulullah diperintahkan untuk memerangi. Kelompok pertama juga terbagi menjadi tiga golongan: orang yang membatalkan perjanjian, memberontak dan memerangi, Rasulullah diperintahkan untuk memeranginya, orang yang memiliki perjanjian dan menepatinya serta tidak berkeinginan untuk memerangi, Rasulullah diperintahkan untuk menyelesaikan perjanjian sampai waktunya, dan orang-orang yang tidak mengadakan perjanjian, tetapi tidak mengusik dakwah dan menginginkan perdamaian mutlak terus-menerus, untuk kelompok ini Rasulullah diperintahkan untuk menolerir mereka sampai empat bulan, dan jika tidak mau masuk Islam, maka beliau akan memerangi. Ketiga strategi tersebut menyebabkan mereka berbondong-bondong masuk Islam, dan enggan berlama-lama dalam kekafiran. Sementara bagi kafir yang dilindungi, dikenakan jizyah. Perintah ini ada dalam surat At Taubah. Setelah itu, maka manusia yang ada di dunia ini ada tiga macam, yaitu: orang muslim yang mukmin, orang yang memerangi Islam dan selalu dalam keadaan takut, dan orang yang tunduk dan berdamai dengan Islam. Sementara terhadap orang-orang munafik, Rasulullah diperintahkan untuk menerima kepura-puraan mereka dengan baik dan menyerahkan kepada Allah segala hal yang mereka sembunyikan.
Demikian fase-fase jihad pada jaman Rasulullah. Fase-fase yang dilalui tersebut memiliki karakter: realistis (tidak hanya persuasif (dakwah), tetapi juga menggunakan fisik (jihad), progresif (berkesinambungan dan setiap fase perkembangannya ada perangkat pendukung tertentu bagi kondisi dan kebutuhan reallistisnya), terpola dan memiliki tujuan yang jelas(pengahambaan kepada Allah secara ikhlas), serta pro perdamaian dan sesuai dengan aturan legal. Jihad tidak identik dengan peperangan defensif, melainkan usaha atau gerakan pembebasan manusia di muka bumi dari penghambaan manusia atas manusia lainnya yang salah satu bentuknya adalah penghambaan terhadap hawa nafsu. Dapat pula dikatakan bahwa jihad ditujukan untuk mencabut segala kekuasaan Allah yang dicuri dan mengembalikannya kapada Allah, meruntuhkan kerajaan manusia dan mendirikan kerajaan Allah di muka bumi yang berarti bukan menyerahkan kepemimpinan kepada agamawan seperti kekuasaan gereja yang pernah ada, atau melegitimasi bagi orang-orang yang mengatasnamakan tuhan untuk memegang kendali kekuasaan. Yang dimaksud mendirikan kerajaan Allah adalah menjadikan kedaulatan bagi syariat Allah semata.
Usaha ini dilakukan tidak cukup melalui penjelasan semata ( al Bayaan) yang berhadapan dengan keyakinan (ideologi) dan pandangan (konsepsi) hidup, melainkan diperlukan pula pergerakan (al harakah) yang menghadapi rintangan materiil, terutama kekuasaan politik. Penulis berpendapat bahwa untuk tujuan tersebut, maka kedua hal itu (penjelasan dan pergerakan) harus dilakukan sekaligus.
Pada bagian terakhir bab ini dijelaskan mengenai pengertian jihad yang terpaksanya sebagai peperangan defensif (mempertahankan diri). Justru dengan definisi ini, kita dapat menemukan hakikat motif jihad di dalam Islam. Disebutkan pada bagian lain bab ini bahwa peperangan ditujukan untuk menjaga eksistensi manusia dan mengeliminir kerusakan bumi.
Kemudian dijelaskan pula mengenai hikmah perintah jihad pada setiap fasenya, misal ketika di mekah diperintahkan bersabar. Hal ini berguna untuk melatih diri kaum muslim yang merupakan bangsa arab yang terkenal dengan ketidaksabarannya, sementara pada fase di madinah, diketahui bahwa masih terdapat keleluasaan untuk melakukan dakwah lisan yang tidak ada satupun kekuasaan politik yang menghalangi. Di Madinah pula Rasulullah berkonsentrasi pada kaum Quraisy yang menjadi penghalang bagi kabilah lain yang ingin memeluk Islam. Fase-fase ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pengertian jihad sebagai peperangan defensif sungguh tidak tepat.
Sesungguhnya landasan jihad islami adalah mengeluarkan orang-orang yang Ia kehendaki dari penghambaan hamba kepada penghambaan kepada Allah semata.
Bagian berikutnya pada buku ini adalah penjelasan mengenai penghambaan kepada Allah, yakni Laa Ilaaha Illallaah Sebuah Pedoman Hidup. Pada bagian ini dijelaskan bahwa kehidupan manusia (umat islam) haruslah berlandaskan kalimat syahadat, dengan kata lain kehidupan tidak disebut sebagai kehidupan islami jika tidak berlandaskan kalimat ini. Beberapa kelompok masyarakat yang ada di bumi ini dijelaskan pada bagian ini, yaitu: masyarakat muslim dan masyarakat jahiliyyah yakni: masyarakat yang tidak mengikhlaskan penghambaannya kepada Allah semata, yang nampak pada keyakinan, pandangan hidup, ritual peribadatan dan syariaat perundang-undangan mereka. Masyarakat jahiliyyah ini terdiri dari, komunis, penyembah berhala,yahudi, kristen, dan masyarakat yang menyatakan dirinya ’masyarakat islam’ itu sendiri. Kelompok yang terakhir ini digolongkan jahil bukan karena menuhankan seseorang, bukan pula melakukan upacara agama untuk seseorang selain Allah, melainkan mereka tidak merealisasikan penghambaan kepada Allah semata dalam sistem kehidupannya. Sebagian mereka mengaku sekuler.
Kelompok masyarakat selain masyarakat Islami menerapkan hukum-hukum yang bukan bersumber dari Allah semata. Akibatnya, tidak jarang terjadi benturan-benturan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Alam dengan segala wujudnya memerlukan suatu aturan yang bersifat universal yang mengatur hubungan antara satu eksistensi dengan yang lainnya, mengatur semua gerakannya, agar tidak berbenturan, tidak rusak, hingga pada suatu masa yang telah dikehendaki Allah. Bab berikutnya di dalam buku ini dibahas mengenai Syariat Universal. Aturan yang diciptakan manusia mungkin saja membuat nyaman diri mereka secara temporer, tetapi aturan tersebut ternyata tidak mampu membuat keserasian total antara kehidupan manusia dan gerak alam semesta, bahakan antara fitrah mereka yang tersembunyi dengan kehidupan yang nyata. Yang mampu membuat aturan yang dapat menciptakan keserasian secara total adalah Pencipta Alam Semesta dan Pencipta manusia itu sendiri, yakni Allah. Saat merealisasikan keseimbangan yang mutlak antara kehidupan manusia dan hukum alam semsta akan terlahir segala kebaikan untuk manusia dan kerusakan dapat dihindari. Manusia sesungguhnya mengakui fitrah dari wujud kejadiannya dan wujud alam yang ada di sekelilingnya, namun saat pengaruh nafsu mulai menguasai jiwanya, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan. Hal ini menimbulkan perselisihan antar kelompok, bahkan antar bangsa dan generasi yang mengakibatkan potensi alam berubah menjadi alat kehancuran dan sumber kesengsaraan. Dengan demikian, hukum yang sesungguhnya dibutuhkan dalam jalinan keterkaitan antara manusia dengan alam adalah syariat Allah yang secara total merupakan hukum yang universal.
Islam Sebuah Peradaban. Peradaban dibangun dan dibentuk oleh kehidupan manusia. Namun peradaban yang ada saat ini diwujudkan oleh manusia-manusia yang menjadi tuhan-tuhan pencipta peraturan dan sebagian manusia lainnya menjadi budak yang mematuhi peraturan. Peradaban seperti ini membuat kemerdekaan dan martabat manusia itu sendiri sesungguhnya sama sekali hilang.
Peradaban sesungguhnya adalah apabila kekuasaan tertinggi dalam suatu masyarakat kembali kepada Allah semata yang tercermin dalam ketinggian martabat manusia itu sendiri. Ketinggian martabat manusia berarti membebaskan manusia dengan sempurna dan dengan sesungguhnya dari penghambaan manusia. Nilai tertinggi dalam suatu masyarakat bisa berupa kemanusiaan berikut ciri-ciri khasnya dan bisa pula berupa materi/benda. Namun bila nilai tertinggi tersebut berupa materi, apapun bentuknya, berikut produksi materi itu sendiri, maka masyarakat itu adalah masyarakat jahil. Terbentuknya masyarakat yang berperadaban tidak terjadi dengan sendirinya. Masyarakat yang memiliki martabat yang tinggi tidak berarti semua pada posisi yang sama sehingga tidak ada atasan dan bawahan, melainkan masyarakat yang menempatkan individu sesuai dengan kemampuannya dan sesuai nilai yang ada di dalamnya sehingga ia mampu menentukan bagi setiap individu tersebut tugas dan posisi masing-masing. Karena nilai yang dibawa oleh setiap individu adalah sama, maka meskipun posisi dan tugas mereka berbeda satu sama lain, tidak akan terjadi pergesekan. Yang terjadi adalah justru keharmonisan dan keteraturan tugas yang merupakan karakteristik dari peradaban islam itu sendiri.
Pandangan Islam dan Kebudayaan. Kegiatan seni secara umum diartikan sebagai ekspresi kemanusiaan mengenai gambaran-gambaran manusia, pengalaman dan jawaban-jawabannya, juga tentang gambaran eksistensi dan kehidupan di dalam jiwa manusia. Hal ini tentu saja bagi seorang muslim harus dihukumi dan ditumbuhkembangkan dengan pandangan islami. Islam memandang bahwasanya ada dua macam kebudayaan: kebudayaan islam yang terdiri atas kaidah-kaidah pandangan islam dan kebudayaan jahili yang terdiri atas beragam paradigma yang kembali pada satu kaidah, yaitu kaidah yang didasarkan pada pembentukan pola pikir ketuhanan yang tidak merujuk pada Allah di dalam pertimbangan-pertimbangannya.
Kewarganegaraan Seorang Muslim adalah Akidahnya. Bumi diciptakan Allah untuk tempat tinggal manusia. Di sebagian wilayah yang ada di bumi dikatakan sebagai wilayah damai (daarul Islam) sementara di sebagian yang lain dinamakan daarul harb (wilayah perang). Di daarul Islam terdapat negara yang muslim, dilindungi oleh syariat Allah dan disana ditegakkan hukum Allah, muslim disana saling tolong-menolong. Sementara di daarul harb, mungkin saja di sana ada muslim, tetapi di sana tidak akan ditemukan adanya loyalitas/ikatan antara sesama muslim yang berdasarkan ikatan iman. Kewarganegaraan seorang muslim hanyalah akidah kepercayaannya yang menjadikannya anggota dari umat yang muslim di daarul Islam. Wilayah dimana Islam tidak ditegakkan serta syariat Islam tidak diberlakukan adalah daarul harb bagi seorang Islam dan juga bagi seorang dzimmi yang melakukan perjanjian dengan umat muslim. Wilayah itu harus diperangi oleh seorang muslim meskipun disana tempat kelahirannya, tempat tinggal sanak keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan dalam islam tidak sekedar ikatan kekeluargaan, bukan hubungan kesukuan ataupun marga. Islam membebaskan manusia dari semua ikatan tersebut agar bebas menuju ke langit.
Perubahan Revolusioner. Keberadaan Islam di tengah-tengah kehidupan jahiliyah bukan untuk menyelaraskan diri dengan pandangan-pandangan jahiliyah tersebut, melainkan mengentaskan manusia dari kejahiliyahan itu sendiri. Tugas utama Islam adalah membangun satu kehidupan manusiawi yang selaras dengan karakteristik Islami dengan cara menggantikan pandangan dan kebiasaan jahiliyah dengan pandangan dan kebiasaan Islam.
Kepercayaan Diri yang Bersumber dari Iman. ”Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS.3:139) merupakan ayat yang melukiskan keadaan abadi yang harus menjadi perasaan bagi seorang mukmin, menjadi cara pandang dan menjadi ukurannya dalam menilai suatu peristiwa. Suatu keadaan yang tertinggi yang harus mendasar dalam kalbu seorang mukmin dalam menghadapi apapun, suatu perasaan bangga yang disyukuri. Perasaan bangga ini bukan didasarkan pada motif individual, tidak didorong oleh kesombongan dan semangat yang meluap-luap, melainkan didasarkan atas kebenaran iman yang mantap. Seorang mukmin tidak akan mendasarkan nilai, konsepsi, dan neracanya kepada manusia, hingga mendapat penghargaan yang tinggi dari manusia ia justru akan mendasarkan semuanya itu kepada Allah semata.
Inilah Jalan Itu. Kisah Ash-habul Ukhudud memaparkan konsepsi karakteristik dakwah Islamiyah, peranan manusia dalam dakwah dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di dalamnya. Karakteristik yang pertama, jalan dakwah bukanlah jalan yang lancar dan mulus, melainkan sebuah jalan yang penuh duri, hambatan dan cobaan, yang semakin menjadi, hambatan tersebut berasal dari pihak-pihak yang membenci Islam. Karakter kedua, pelaku dakwah, dengan rintangan yang menghalang tersbut, tidak menjadi kendor semangatnya, justru sebaliknya, iman mereka semakin bertambah. Hal ini disebabkan keyakinan yang kuat akan balasan kenikamatan syurga Allah yang akan mereka terima nanti. Karakter ketiga, umumnya pelaku dakwah akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang bersifat duniawi sebagai taruhan keimanan mereka, namun tentu saja pelaku dakwah akan memilih kemuliaan di sisi Allah. Karakter keempat, akhir dari perjalanan dakwah bisa menyerupai persis peristiwa ash-habul uhkdud (kemusnahan mukmin dan kegembiraan orang kafir), namun bisa juga sebaliknya. Hal ini dikatakan bahwa pelaku dakwah tidak akan dimintai pertangunggjawaban apapun mngenai hal ini. Poin utama yang dipertanyakan adalah permasalahan akidah mereka di hadapan Allah. Tugas mereka adalah menunaikan kewajiban yang menjadikan Allah sebagi satu-satunya tuhan, mengutamakan akidah daripada kehidupan duniawi, penuh percaya diri dengan iman yang dimiliki, menyandarkan diri hanya pada Allah atas seluruh amal dan niatnya. Itu semua tidak lain adalah jalan menuju keridhaan Allah.
Sunday, January 3, 2010
LUPANYA NABI ADAM AS
LUPANYA NABI ADAM AS
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita
Salah satu sifat dasar yang dimiliki manusia adalah sifat lupa. Hiperbolis sifat ini berupa kelalaian. Namun ada pula kondisi dimana ’lupa’ menjadi sesuatu yang memang disengaja. Terlepas dari dari disengaja atau tidak, sifat lupa umumnya menimbulkan permasalahan yang merugikan beberapa pihak yang terlibat. Mulai dari permasalahan pribadi hingga permasalahan besar yang dihadapi bangsa saat ini pada dasarnya diakibatkan sifat lupa.
Salah satu solusi yang ditawarkan Islam untuk mengatasi sifat ini adalah dengan membuat catatan. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al Baqarah 282 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengdiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengdiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.2:282.)
Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya mengatakan bahwa inilah ayat yang terpanjang dari semua ayat Al Qur’an. Ibnu Abbas ra. berkata: ” Ketika turun ayat yang mengenai utang piutang ini, tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya yang pertama ingkar janji adalah Adam as. Ketika Allah menciptakannya kemudian mengusap punggungnya dan keluar semua anak cucunya hingga hari qiyamat, dan ketika ia melihat satu persatu, terlihat padanya seorang pemuda yang tampan rupawan, lalu ia bertanya: ”Siapakah itu?” Dijawab: ”Putramu Dawud.” Ia bertanya:”Berapakah umurnya?” Dijawab: ”Enam puluh tahun.” Lalu ia berdoa: ”Ya, Allah, tambahkan umurnya”. Jawab Tuhan,”Tidak, kecuali jika dipotong dari umurmu”, sedang umur Adam seribu tahun, maka ditambahkan kepada Dawud empat puluh tahun, maka ditulis perjanjian itu dan disaksikan oleh malaikat. Kemudian ketika Adam didatangi malaikat yang akan mencabut ruhnya, ia berkata: ” umurku masih bersisa empat puluh tahun.” Kemudian diberitahu bahwa Adam telah memberikan umurnya kepada putranya Dawud. Jawab adam: ”Tidak.” maka Allah memperlihatkan kepadanya surat catatan perjanjian dan disaksikan oleh para malaikat. (HR. Ahmad)
\
Ayat ini berupa tuntunan Allah kepada hambaNya yang beriman jika mereka dalam mu’amalah utang piutang supaya ditulis, dengan kadar tertentu, waktu yang tertentu dan mudah dalam persaksiannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya keraguan di kemudian hari.
Lupa terhadap sesuatu merupakan hal yang wajar. Beruntunglah manusia (yang tercermin dalam kisah nabi Adam as) memiliki sifat lupa, karena apabila ia selalu mengingat detail yang ia lakukan, baik kesenangan maupun kesalahannya, maka besar kemungkinan manusia itu akan mengalami depresi akibat teringat selalu atas dosa yang dilakukannya. Daya ingatnya akan overload, termasuk apabila ia selalu ingat rasa sakit yang luar biasa yang pernah dialaminya.
Akuntansi merupakan catatan secara kronologis tentang kegiatan ekonomis dalam sebuah entitas (perusahaan) Dengan catatan inilah, manajemen perusahaan (yang terdiri dari manusia-manusia dengan sifat lupanya) mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap apa yang diamanahkan kepadanya. Dengan adanya catatan, manajemen tidak lupa dengan segala sesuatu yang terjadi di perusahaannya, kecuali memang ada kesengajaan untuk melupakan sesuatu untuk suatu kepentingan. Jika sengaja melupakan sesuatu, maka tentu saja akan ada permasalahan di kemudian hari. Wallahu’alam bissawab.
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita
Salah satu sifat dasar yang dimiliki manusia adalah sifat lupa. Hiperbolis sifat ini berupa kelalaian. Namun ada pula kondisi dimana ’lupa’ menjadi sesuatu yang memang disengaja. Terlepas dari dari disengaja atau tidak, sifat lupa umumnya menimbulkan permasalahan yang merugikan beberapa pihak yang terlibat. Mulai dari permasalahan pribadi hingga permasalahan besar yang dihadapi bangsa saat ini pada dasarnya diakibatkan sifat lupa.
Salah satu solusi yang ditawarkan Islam untuk mengatasi sifat ini adalah dengan membuat catatan. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al Baqarah 282 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengdiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengdiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.2:282.)
Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya mengatakan bahwa inilah ayat yang terpanjang dari semua ayat Al Qur’an. Ibnu Abbas ra. berkata: ” Ketika turun ayat yang mengenai utang piutang ini, tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya yang pertama ingkar janji adalah Adam as. Ketika Allah menciptakannya kemudian mengusap punggungnya dan keluar semua anak cucunya hingga hari qiyamat, dan ketika ia melihat satu persatu, terlihat padanya seorang pemuda yang tampan rupawan, lalu ia bertanya: ”Siapakah itu?” Dijawab: ”Putramu Dawud.” Ia bertanya:”Berapakah umurnya?” Dijawab: ”Enam puluh tahun.” Lalu ia berdoa: ”Ya, Allah, tambahkan umurnya”. Jawab Tuhan,”Tidak, kecuali jika dipotong dari umurmu”, sedang umur Adam seribu tahun, maka ditambahkan kepada Dawud empat puluh tahun, maka ditulis perjanjian itu dan disaksikan oleh malaikat. Kemudian ketika Adam didatangi malaikat yang akan mencabut ruhnya, ia berkata: ” umurku masih bersisa empat puluh tahun.” Kemudian diberitahu bahwa Adam telah memberikan umurnya kepada putranya Dawud. Jawab adam: ”Tidak.” maka Allah memperlihatkan kepadanya surat catatan perjanjian dan disaksikan oleh para malaikat. (HR. Ahmad)
\
Ayat ini berupa tuntunan Allah kepada hambaNya yang beriman jika mereka dalam mu’amalah utang piutang supaya ditulis, dengan kadar tertentu, waktu yang tertentu dan mudah dalam persaksiannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya keraguan di kemudian hari.
Lupa terhadap sesuatu merupakan hal yang wajar. Beruntunglah manusia (yang tercermin dalam kisah nabi Adam as) memiliki sifat lupa, karena apabila ia selalu mengingat detail yang ia lakukan, baik kesenangan maupun kesalahannya, maka besar kemungkinan manusia itu akan mengalami depresi akibat teringat selalu atas dosa yang dilakukannya. Daya ingatnya akan overload, termasuk apabila ia selalu ingat rasa sakit yang luar biasa yang pernah dialaminya.
Akuntansi merupakan catatan secara kronologis tentang kegiatan ekonomis dalam sebuah entitas (perusahaan) Dengan catatan inilah, manajemen perusahaan (yang terdiri dari manusia-manusia dengan sifat lupanya) mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap apa yang diamanahkan kepadanya. Dengan adanya catatan, manajemen tidak lupa dengan segala sesuatu yang terjadi di perusahaannya, kecuali memang ada kesengajaan untuk melupakan sesuatu untuk suatu kepentingan. Jika sengaja melupakan sesuatu, maka tentu saja akan ada permasalahan di kemudian hari. Wallahu’alam bissawab.
LUPANYA NABI ADAM AS
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita
Oleh: Lisa Martiah Nila Puspita
Salah satu sifat dasar yang dimiliki manusia adalah sifat lupa. Hiperbolis sifat ini berupa kelalaian. Namun ada pula kondisi dimana ’lupa’ menjadi sesuatu yang memang disengaja. Terlepas dari dari disengaja atau tidak, sifat lupa umumnya menimbulkan permasalahan yang merugikan beberapa pihak yang terlibat. Mulai dari permasalahan pribadi hingga permasalahan besar yang dihadapi bangsa saat ini pada dasarnya diakibatkan sifat lupa.
Salah satu solusi yang ditawarkan Islam untuk mengatasi sifat ini adalah dengan membuat catatan. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al Baqarah 282 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengdiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengdiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.2:282.)
Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya mengatakan bahwa inilah ayat yang terpanjang dari semua ayat Al Qur’an. Ibnu Abbas ra. berkata: ” Ketika turun ayat yang mengenai utang piutang ini, tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya yang pertama ingkar janji adalah Adam as. Ketika Allah menciptakannya kemudian mengusap punggungnya dan keluar semua anak cucunya hingga hari qiyamat, dan ketika ia melihat satu persatu, terlihat padanya seorang pemuda yang tampan rupawan, lalu ia bertanya: ”Siapakah itu?” Dijawab: ”Putramu Dawud.” Ia bertanya:”Berapakah umurnya?” Dijawab: ”Enam puluh tahun.” Lalu ia berdoa: ”Ya, Allah, tambahkan umurnya”. Jawab Tuhan,”Tidak, kecuali jika dipotong dari umurmu”, sedang umur Adam seribu tahun, maka ditambahkan kepada Dawud empat puluh tahun, maka ditulis perjanjian itu dan disaksikan oleh malaikat. Kemudian ketika Adam didatangi malaikat yang akan mencabut ruhnya, ia berkata: ” umurku masih bersisa empat puluh tahun.” Kemudian diberitahu bahwa Adam telah memberikan umurnya kepada putranya Dawud. Jawab adam: ”Tidak.” maka Allah memperlihatkan kepadanya surat catatan perjanjian dan disaksikan oleh para malaikat. (HR. Ahmad)
\
Ayat ini berupa tuntunan Allah kepada hambaNya yang beriman jika mereka dalam mu’amalah utang piutang supaya ditulis, dengan kadar tertentu, waktu yang tertentu dan mudah dalam persaksiannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya keraguan di kemudian hari.
Lupa terhadap sesuatu merupakan hal yang wajar. Beruntunglah manusia (yang tercermin dalam kisah nabi Adam as) memiliki sifat lupa, karena apabila ia selalu mengingat detail yang ia lakukan, baik kesenangan maupun kesalahannya, maka besar kemungkinan manusia itu akan mengalami depresi akibat teringat selalu atas dosa yang dilakukannya. Daya ingatnya akan overload, termasuk apabila ia selalu ingat rasa sakit yang luar biasa yang pernah dialaminya.
Akuntansi merupakan catatan secara kronologis tentang kegiatan ekonomis dalam sebuah entitas (perusahaan) Dengan catatan inilah, manajemen perusahaan (yang terdiri dari manusia-manusia dengan sifat lupanya) mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap apa yang diamanahkan kepadanya. Dengan adanya catatan, manajemen tidak lupa dengan segala sesuatu yang terjadi di perusahaannya, kecuali memang ada kesengajaan untuk melupakan sesuatu untuk suatu kepentingan. Jika sengaja melupakan sesuatu, maka tentu saja akan ada permasalahan di kemudian hari. Wallahu’alam bissawab.
Subscribe to:
Posts (Atom)